dracorion

hackforger au


“Gue udah minta lo dari awal untuk gak pake perasaan ke hubungan kita,” kata Piko sambil memijat pelipisnya, terduduk di pinggiran kasur berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan sendu Ucup yang ada di depannya sekarang.

“Maksud lo gak pake perasaan itu gimana, Pik? Setelah apa kita lewatin selama ini?” Tanya Ucup sambil memegang bahu Piko, berusaha membuatnya fokus kembali menatap Ucup yang sudah tidak kuat menahan tangisnya.

Selama ini mereka menjalin hubungan yang terbilang sangat dekat sebagai sepasang sahabat, memang sejak awal Piko sudah mengingatkan kalau ia mungkin saja tidak bisa membalas perasaan Ucup setelah laki-laki itu menyatakan perasaannya. Namun Ucup tetap berusaha untuk membuat Piko merasa nyaman dan senang berada di sekitarnya.

Memang, awal terjalinnya hubungan mereka adalah karena putusnya Piko dengan sang mantan kekasih, Sarah. Bodohnya Ucup mengira ia bisa menggantikan kekosongan tempat bekas orang yang pernah dicintai oleh Piko. Namun, semuanya salah karena apapun yang dilakukan oleh Ucup hanya akan sia-sia, tenaga dan waktunya terbuang habis untuk orang yang selama ini ia harapkan yang bahkan sama sekali tidak menganggapnya.

“Lo seriusan setelah semua yang gue lakuin buat lo?” tanya Ucup lagi, berusaha memastikan. Ia menatap mata Piko yang ada di hadapannya, berusaha mencari kebohongan atau paling tidak rasa bersalah dari mata yang selalu menjadi penyemangatnya itu.

“Gue masih ada rasa sayang sama dia,” jawab Piko sambil menghela napas dan kembali berusaha mengalihkan pandangannya dari Ucup.

“Lo gak usah nangis dan berusaha buat gue merasa bersalah, Ucup.” Kata Piko yang langsung dihadiahi tatapan sinis oleh Ucup.

Ia tidak pernah berpikir akan jatuh kepada orang sejahat Piko yang terlihat sama sekali tidak memiliki rasa bersalah setelah menyakiti perasaan seseorang.

Selama bertahun-tahun lamanya Ucup menemani Piko, selalu meluangkan waktu, menjadikan Piko sebagai prioritasnya dan ia justru malah menjadi orang yang paling tidak pernah dilihat. Bahkan setelah Piko putus dari mantannya empat tahun yang lalu. Ucup bahkan kini ragu, benarkah semua yang dikatakan oleh Piko kalau perasaan sayang darinya untuk Sarah masih ada? Salahkah jika Ucup berpikir kalau semua yang dikatakan Piko hanya kebohongan?

“Kalau lo mau marah sama gue, silakan, Cup. Gue akan menerima semuanya, lo bisa pukulin gue sekarang sebagai pelampiasan rasa kesal dan marah lo. Pukul gue, Cup.” Kata Piko sambil beranjak dari duduknya, berusaha untuk mensejajarkan dirinya dengan Ucup.

Piko tahu, Ucup tidak akan pernah bisa menyakitinya. Bahkan untuk berbicara dengannya dengan nada tinggi pun Ucup tidak akan bisa.

Apapun yang Ucup lakukan untuk Piko, semua tulus. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan, ia melakukan semua hal untuk Piko dengan sepenuh hatinya, justru hal itu yang bisa membuatnya merasa bahagia. Kebahagiaan Piko adalah kebahagiaannya.

Sekarang, semua akan selesai disini.

“Mending lo yang pukulin gue, Pik. Pukul gue sampe mati kalau bisa,” kata Ucup sambil menarik kerah baju Piko, menatapnya dengan ekspresi yang bahkan sudah tidak bisa dideskripsikan seberapa kacaunya dengan air mata yang sudah tidak lagi bisa tergenang di pelupuk matanya.

“Kasih tau gue apa yang lo mau sebagai ganti rugi waktu dan tenaga lo selama empat tahun ke belakang.” Kata Piko sambil menyingkirkan tangan Ucup dari kerah bajunya.

Ia sama sekali tidak menginginkan apapun dari Piko, bahkan ia rela membuang dan meninggalkan apapun demi laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.

“Gue gak mau lo ninggalin gue segampang itu, Pik.” Jawab Ucup dengan nada lirih, terdengar sangat putus asa di telinga Piko.

Piko menggeleng sambil tertawa remeh setelah mendengar jawaban Ucup, ia sudah menduga jawaban itulah yang akan keluar dari mulutnya.

“Maaf, gue gak bisa.” Jawab Piko singkat sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar Ucup.

Ucup menatap punggung Piko yang pergi keluar dari kamarnya. Ucup sudah tidak kuat lagi menahan tangisannya, semua air mata keluar seiring dengan menghilangnya Piko dari balik pintu kamarnya.


Piko terus memijat pelipisnya, kepalanya pusing setelah perdebatannya dengan Ucup. Dadanya sakit harus mengatakan kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia katakan.

Bohong kalau Piko mengatakan ia tidak memiliki perasaan apapun kepada Ucup. Bohong kalau ia mengatakan sama sekali tidak menyayangi Ucup, bahkan mencintai laki-laki itu.

Memang awalnya hubungan Ucup dan Piko terjalin karena adanya masalah yang timbul antara Piko dan Sarah, namun semua hal yang terjadi di hubungan mereka bukan hanya sebatas Piko yang menjadikan Ucup sebagai pelarian dari masalah.

Tentunya Piko memiliki alasan yang kuat kenapa melakukan hal sejahat itu kepada Ucup, ia ingin Ucup melupakannya dan memulai kehidupannya yang baru tanpa Piko.

Sakit bagi Piko melihat bagaimana keadaan Ucup. Namun ia merasa sama sekali tidak pantas menerima bahkan satu tetes air mata dari orang yang sangat tulus itu, tidak pantas karena ia tidak akan bisa memberikan perasaan yang sepenuhnya pada Ucup.

Ia hanya takut. Takut akan membuat Ucup lebih sakit lagi nantinya. Takut membuat Ucup semakin membuang waktunya sia-sia bagi orang yang sama sekali tidak bisa mengerti dirinya, yang hanya bisa merepotkan dan menyusahkannya.

Piko menyadari dengan cara berpisah seperti ini tidak akan menjadi hal yang mudah bagi keduanya. Namun hanya hal inilah yang Piko bisa lakukan.

Tanpanya, mungkin Ucup tidak akan kesulitan lagi.

Tanpanya, mungkin Ucup tidak akan membuang waktunya secara sia-sia lagi.

Tanpanya juga, mungkin Ucup tidak akan merasakan sakit hati lagi.

Ya, mungkin.

Kariselle one-shot


Air mata itu berhasil jatuh dari pelupuk mata milik Giselle setelah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut cantik milik Karina.

“Kenapa?” tanyanya sambil berusaha meraih tangan Karina yang langsung membuat tangannya itu masuk ke dalam genggaman hangat namun menyakitkan.

“Maaf, aku gak bisa.” Jawab Karina.

Giselle masih menatap kekasih—mantan kekasihnya itu dengan mata yang dibasahi oleh air yang tidak berhasil ditampung oleh pelupuk matanya.

Karina ingin mengakhiri semuanya dan Giselle tidak tahu apa kesalahan yang sudah diperbuat olehnya.

“Kamu gak sayang sama aku? Atau selama ini aku cuma sayang sendirian?” tanya Giselle.

Karina menggelengkan kepalanya, genggaman tangan itu makin erat. Kini matanya ikut berkaca-kaca, sakit dirasa dalam dadanya.

“Berkali-kali aku bilang ke kamu, Giselle, aku sayang kamu.”

“Terus kenapa kamu pergi? Kamu kenapa mau ninggalin aku?” tanya Giselle, kini dengan ditambah nada merengek sambil tangisnya masih terus mengiringi di setiap kalimat.

“Aku gak bisa memperlakukan kamu dengan baik, Gi, you deserve someone that could make you feel loved.

Tangisan Giselle pecah. Memang, ia selalu mempertanyakan perasaan Karina terhadapnya, apakah gadis itu sayang padanya atau tidak. Walaupun Karina selalu mengatakan kalau dirinya sayang, bahkan cinta, rasanya selalu kurang bagi Giselle karena mantan kekasihnya itu selalu bersikap cuek dan seolah tidak peduli padanya.

“Karina … aku gak bisa kalau gak ada kamu,” katanya. Sekarang genggaman itu dilepas oleh Karina, kedua tangannya meraih bahu Giselle.

“Gi, kamu berhak bahagia dan itu bukan sama aku. Aku sayang kamu, Gi, aku gak mau bikin kamu tersiksa karena jadi pacarku.” Karina mengatakan itu dengan jarak wajah yang sangat dekat dengan sang mantan kekasih.

“Aku bakal lebih tersiksa lagi kalau kamu pergi, Karina.”

Karina menggeleng setelah mendengar jawaban dari Giselle, “percaya sama aku, kamu akan jauh lebih bahagia setelah kita selesai.”

Giselle menggelengkan kepalanya sambil masih diiringi tangis kesedihan karena keputusan sepihak yang diambil oleh Karina.

Perlahan gadis di hadapannya itu meraih kedua pipi milik Giselle dan mendekatkan bibir ke arah dahinya.

Tangisan Giselle berakhir pecah untuk kedua kalinya karena Karina mengecup dahinya.

“Aku sayang kamu. Tolong janji sama aku buat jadi lebih bahagia dari sekarang, ya?” ucap Karina lalu mengulurkan jari kelingking ke hadapan Giselle.

Kariselle one-shot


Air mata itu berhasil jatuh dari pelupuk mata milik Giselle setelah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut cantik milik Karina.

“Kenapa?” tanyanya sambil berusaha meraih tangan Karina yang langsung membuat tangannya itu masuk ke dalam genggaman hangat namun menyakitkan.

“Maaf, aku gak bisa.” Jawab Karina.

Giselle masih menatap kekasih—mantan kekasihnya itu dengan mata yang dibasahi oleh air yang tidak berhasil ditampung oleh pelupuk matanya.

Karina ingin mengakhiri semuanya dan Giselle tidak tahu apa kesalahan yang sudah diperbuat olehnya.

“Kamu gak sayang sama aku? Atau selama ini aku cuma sayang sendirian?” tanya Giselle.

Karina menggelengkan kepalanya, genggaman tangan itu makin erat. Kini matanya ikut berkaca-kaca, sakit dirasa dalam dadanya.

“Berkali-kali aku bilang ke kamu, Giselle, aku sayang kamu.”

“Terus kenapa kamu pergi? Kamu kenapa mau ninggalin aku?” tanya Giselle, kini dengan ditambah nada merengek sambil tangisnya masih terus mengiringi di setiap kalimat.

“Aku gak bisa memperlakukan kamu dengan baik, Gi, you deserve someone that could make you feel loved.

Tangisan Giselle pecah. Memang, ia selalu mempertanyakan perasaan Karina terhadapnya, apakah gadis itu sayang padanya atau tidak. Walaupun Karina selalu mengatakan kalau dirinya sayang, bahkan cinta, rasanya selalu kurang bagi Giselle karena mantan kekasihnya itu selalu bersikap cuek dan seolah tidak peduli padanya.

“Karina … aku gak bisa kalau gak ada kamu,” katanya. Sekarang genggaman itu dilepas oleh Karina, kedua tangannya meraih bahu Giselle.

“Gi, kamu berhak bahagia dan itu bukan sama aku. Aku sayang kamu, Gi, aku gak mau bikin kamu tersiksa karena jadi pacarku.” Karina mengatakan itu dengan jarak wajah yang sangat dekat dengan sang mantan kekasih.

“Aku bakal lebih tersiksa lagi kalau kamu pergi, Karina.”

Karina menggeleng setelah mendengar jawaban dari Giselle, “percaya sama aku, kamu akan jauh lebih bahagia setelah kita selesai.”

Giselle menggelengkan kepalanya sambil masih diiringi tangis kesedihan karena keputusan sepihak yang diambil oleh Karina.

Perlahan gadis di hadapannya itu meraih kedua pipi milik Giselle dan mendekatkan bibir ke arah dahinya.

Tangisan Giselle berakhir pecah untuk kedua kalinya karena Karina mengecup dahinya.

“Aku sayang kamu. Tolong janji sama aku buat jadi lebih bahagia dari sekarang, ya?” ucap Karina lalu mengulurkan jari kelingking ke hadapan Giselle.

Ningisa Short AU


Ningning masih duduk memainkan ponselnya sambil sesekali tertawa kecil melihat beberapa respon dari cuitan yang dibuatnya.

“What are you chuckling at?” tanya Isa. Keduanya sedang melakukan kerja kelompok di dalam kamar milik Ningning.

“Enggak, gue abis bikin thread,” jawabnya.

Isa menaikkan satu alisnya bingung, “thread?”

“Iya, isinya tentang rate gue buat orang-orang yang pernah ciuman sama gue,” jawab Ningning.

Isa terkekeh mendengar jawaban itu. “Emangnya lo udah pernah ciuman sama berapa orang?” tanyanya.

“Sebelas,” jawab Ningning.

“That's quite much.” Jawab Isa lalu membuka ponselnya untuk mengecek aplikasi Twitter. Ia membaca dengan detail utas yang dibuat oleh perempuan yang kini duduk di sebelahnya.

“Lo pernah ciuman sama Ryu, ya?” tanya Isa yang dijawab oleh Ningning dengan anggukkan. Perempuan yang ada di sebelahnya itu sekarang tengah mengalihkan fokusnya kembali ke tugas-tugas yang ada di hadapannya.

“Yep, she's the best girl that I've kissed so far,” jawab Ningning.

“I supposed to be in the first rank,” kata Isa tanpa menolehkan pandangannya, matanya masih fokus menatap ponsel. Ia sudah melihat kalau Ryujin adalah perempuan yang mendapatkan nilai tertinggi di dalam utas itu.

“Pardon me, Miss Isa?”

“You put her in the first rank because you haven't tried my lips touching you.”

“Do you mean kissing?” tanya Ningning memekik dan mendapat jawaban berupa penolakan.

“No, correctly, you haven't tried my lips touching you. Your lips and all over your body,” jawabnya. Mata itu kini menatap Ningning dalam-dalam sehingga tanpa sadar jarak antara keduanya perlahan terkikis.

Isa berhasil mempertemukan bibir keduanya. Lembut, itu yang pertama kali dirasa ketika bibir milik teman kelompoknya itu berhasil tersentuh olehnya. Dengan perlahan Isa meraih tengkuk Ningning dengan tangan kirinya untuk memperdalam ciuman sambil lidahnya mendorong, seolah meminta Ningning untuk membuka pintu bagi lidah mereka untuk saling bertemu.

Saliva bertukar antara keduanya, manis dirasa lidah perempuan yang kini direngkuh oleh Isa. Tangan kanannya berhasil meraih pinggul Ningning yang langsung membuat perempuan itu terus mendekat dan ikut merengkuh Isa dengan melingkarkan kedua tangannya di pinggang milik Isa.

Ningning terus membalas ciuman dari Isa yang masih terus menggerakkan lidah manis itu bertemu dengan lidahnya hingga nafas keduanya mulai terengah. Ningning melepaskan penyatuan manis keduanya lalu menatap mata Isa, masih dengan jarak yang sangat dekat.

“How was it?” tanya Isa.

“I like your lips touching mine.”

“Wanna try it to touch you all over your body?” tanya Isa yang langsung dibalas ciuman oleh Ningning dengan agresif.

Chenji AU


Tengah hari di awal tahun 2005

Tanah basah di siang hari setelah turunnya hujan saat itu dipijak oleh Jisung, anak laki-laki berusia lima tahun yang baru saja keluar dari rumah barunya. Keluarga Jisung baru saja pindah ke daerah baru yang lumayan jauh dari tempat asal mereka karena proyek milik ayahnya yang mengharuskan keluarga Jisung untuk ikut pindah ke daerah tersebut.

Dengan baju barunya, Jisung berjalan ke arah rumah pohon yang terletak beberapa meter dari rumah barunya. Rumah pohon itu berhasil menarik perhatiannya, “HALO!” teriak seorang anak laki-laki memunculkan kepalanya dari jendela rumah pohon itu yang berhasil membuat Jisung terkesiap karenanya. Jisung mengerutkan alisnya bingung, “Halo? Kamu siapa? Kenapa kok di atas situ sendirian?” tanyanya dengan suara yang agak keras agar si anak laki-laki yang ada di dalam rumah pohon itu dapat mendengarnya.

“AKU CHENLE! KAMU SIAPA?” teriaknya bertanya pada Jisung yang masih mendongakkan kepala memandangnya dari bawah, “namaku Jisung.” jawabnya. Jisung sama sekali tidak menjawab Chenle dengan berteriak juga karena ia takut mengganggu orang-orang yang tinggal di sekitar. Chenle yang kesal karena kesulitan mendengar jawaban Jisung akhirnya turun ke bawah dan menghampiri anak laki-laki dengan rambut basah khas anak-anak yang baru selesai mandi.

“Nama kamu siapa?” tanya Chenle lagi setelah sampai di hadapan Jisung yang masih menatapnya dengan bingung. “Namaku Jisung, kamu gak bisa denger ya?” pertanyaan itu terdengar seperti pertanyaan sarkas, namun Jisung benar-benar bertanya apakah Chenle kesulitan mendengarnya atau tidak. Chenle dengan kesal menjawab, “ya bisa lah, kamu ini gimana?” yang hanya dijawab oleh Jisung dengan kekehan.

“Aku baru pindah, rumahku di sana.” kata Jisung sambil menunjuk ke arah rumahnya yang berada di seberang rumah pohon milik Chenle. Mata Chenle mengikuti arah kemana tangan Jisung menunjuk, “oh … sekarang kita tetangga, ini rumahku.” jawab Chenle menunjuk ke arah rumah bertingkat yang lumayan besar, terletak di belakang rumah pohon itu.

“Kalau pohon itu, punya kamu juga?” tanya Jisung dengan ragu yang dijawab anggukkan oleh Chenle, “iya, rumah pohon bikinan papi ku, kalau kamu mau kita bisa main di sini setiap hari.” Jawabnya.


Januari 2021

Sepanjang tahun 2020, Jisung merasakan bagaimana hari-harinya hampa dan kosong karena awal tahunnya yang dihadiahi dengan mimpi buruk yang sulit dipercaya olehnya. Perlu waktu berbulan-bulan untuknya menerima kenyataan yang ada dan di sinilah ia sekarang.

Jisung tersenyum mengingat bagaimana perkenalannya dengan Chenle lima belas tahun yang lalu terjadi, saat itu keduanya masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dengan rasa ingin tahu yang tinggi Jisung menghampiri rumah pohon milik Chenle. Perlu disyukuri rasa penasarannya sangat tinggi saat itu hingga ia bisa bertemu dengan pria yang sempat menjadi kekasihnya.

Entah sejak kapan rasa itu tumbuh, tapi keduanya sempat bertukar rasa bersama. Jisung senang bisa mengenal Chenle dalam waktu yang lama, saling mengasihi dengan lelaki itu. Senyuman itu masih terlukis di wajahnya seiring dengan jatuhnya air mata dari pelupuk matanya, “udah satu tahun kamu pergi, gimana di sana?” tanya Jisung bermonolog sambil mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar pusara. Tertulis jelas nama laki-laki yang mengisi harinya selama lima belas tahun ke belakang.

Terima kasih karena udah pernah hadir untuk aku dan yang lainnya. Kata Jisung dalam hati, kini bahunya yang bergetar akibat isak tangis. Jisung masih mencoba menahan tangisannya.

Kyla & Wenny


tw// self harm, injury, rape, harassment


Rasanya sakit, tapi bukan di tangannya yang penuh luka itu. Yudita masuk ke dalam kamarnya untuk melihat bagaimana keadaan Kyla saat itu. Semuanya aneh, tidak seperti biasanya Kyla kali ini sama sekali tidak menangis, pandangannya kosong.

“Kyla,” panggil Yudita yang sama sekali tidak digubris oleh gadis itu.

“Kyla, gue obatin tangan lu ya?” tanyanya pelan, di tangannya sudah ada peralatan yang biasa ia gunakan untuk membantu Kyla mengobati lukanya. Yudita memang sudah sangat terbiasa menangani Kyla di saat genting, contohnya yang terjadi hari ini, dimana Wenny tidak ada bersamanya.

Perlahan Yudita menyibak kemeja milik Kyla, terlihat jelas bagaimana tulang selangka dari pemilik badan kurus itu membiru akibat memar, ada beberapa goresan yang masih baru di atas kulit lengan bagian atasnya. Yudita meringis ngilu melihat luka di lengan Kyla, memang temannya ini perlu pengawasan yang lebih ketat dari sebelumnya.

Sambil Yudita terfokus dengan masih terus membersihkan dan mengobati luka di tangan Kyla, yang diobati masih terdiam memikirkan Wenny. Masih tidak menyangka hal ini benar-benar terjadi, Wenny yang benar-benar sudah lelah dan menyerah menghadapinya, meninggalkan Kyla di titik terendah.

Kenapa Wenny harus meninggalkannya saat ia berada di posisi sesulit ini? Kemana janji Wenny yang dulu mengatakan tentang dirinya yang akan terus bersama dengan Kyla? Apakah dirinya seburuk itu untuk dipertahankan?

Wenny pasti sudah sangat lelah saat ini, ditambah ia pasti kecewa dengan bagaimana tadi Kyla dengan beraninya mengeluarkan kata-kata seperti itu dan menyinggung hatinya. Kyla akui dirinya memang sangat buruk dalam urusan mengontrol emosi.

Kyla merasa sangat bersalah saat ini, seharusnya ia tidak tersulut emosi saat menghadapi Wenny. Sekarang orang yang paling disayanginya sudah pergi, apa yang harus Kyla lakukan untuk membuat Wenny kembali?

Rapuh, itu sepertinya hal yang cocok untuk mendeskripsikan bagaimana Kyla sekarang yang bahkan hanya untuk menangis saja ia sama sekali tidak sanggup. Dirinya seperti mati rasa bahkan disaat Yudita menekan lukanya dengan obat-obatan itu, rasa sakit di kulitnya dikalahkan oleh rasa nyeri di dada. Sakit.

Rasanya sakit, tapi bukan di lengannya yang penuh luka itu. Di relung hatinya. Bahkan kini Kyla tidak tau hal apa yang bisa membuatnya bangkit lagi, Wenny adalah satu-satunya orang yang membuatnya bertahan.

Wenny pernah bilang kalau Kyla adalah orang baik, orang baik macam apa yang mengecewakan orang yang disayanginya?

Namanya masih selalu terngiang-ngiang di pikiran, senyum manis dan tawa riangnya, ia rindu.

Wenny, nama itulah yang saat ini selalu ada di pikirannya, rasanya baru kemarin setiap nama itu disebut dan menimbulkan rasa seolah ada kupu-kupu beterbangan di perutnya. Pemilik nama itu berhasil membuat Kyla jatuh ke pelukannya. Kyla yang sekeras batu dan sangat sulit untuk membuka hatinya untuk siapapun, lalu Wenny datang dan berhasil membuat Kyla menjadi miliknya.

Wenny bagaikan rumah dan juga obat untuknya, gadis itu datang dan membantu Kyla untuk bangkit. Mungkin benar, kalau Wenny dulu tidak hadir di hidupnya, Kyla sudah tidak ada di dunia ini.

Memang sebelum Wenny datang di hidupnya, Kyla tidak sehancur sekarang. Kesehariannya memanglah menghadapi Ayah yang sering memukul dan melecehkannya, Kyla benar-benar tidak berani melaporkan Ayahnya karena hanya pria tua itulah satu-satunya keluarga inti yang ia miliki. Walaupun ia semenjak beranjak remaja, ia merasa dikotori oleh Ayahnya sendiri.

Sebelum mengenal Wenny, Kyla memang benar-benar sendirian dan tidak punya tempat untuk mencurahkan bagaimana isi hatinya. Sejak kecil juga Kyla sudah menormalisasi hal-hal yang bisa menyakiti dirinya, terbiasa melihat orang tuanya memarahi hingga memukulinya juga membuat Kyla menjadi sulit dalam mengontrol emosinya, dengan mudah amarahnya bisa memuncak, tangisnya pecah, tawanya meledak.

Kyla adalah anak tunggal di keluarga kecilnya, dilahirkan dari rahim seseorang yang sebenarnya belum siap untuk memiliki anak membuatnya menjadi korban atas ego orang tuanya. Semenjak ibunya meninggal, Kyla hanya tinggal berdua dengan Ayahnya yang mungkin hanya sebulan sekali bisa singgah untuk pulang karena pekerjaannya. Kyla sedikit bersyukur Ayahnya tidak harus bertemu dengan dirinya setiap hari. Sering kali Kyla berpikir, seharusnya ia tidak pernah dilahirkan, karena untuk apa ia dilahirkan hanya untuk menjadi pelampiasan amarah bagi orang tuanya?

Hidup dengan fasilitas lengkap tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Kyla selalu dikelilingi uang dan fasilitas yang lengkap, sejak kecil orang tuanya sibuk bekerja dan meninggalkan Kyla bersama suster dan asisten rumah tangganya. Setiap pulang ke rumah dan melihat kesalahan kecil yang diperbuat oleh Kyla, ayahnya selalu marah. Bukan, Kyla tidak pernah melawan ayahnya sama sekali namun laki-laki paruh baya itu selalu menganggap kalau Kyla melawannya.

Dulu sebelum Ibunya pergi, setiap hari, Kyla bangun dengan keadaan rumah yang sudah kosong, kedua orang tuanya sudah berangkat untuk bekerja dan hanya ada ART yang selalu menemaninya di rumah. Betapa kosong dan tidak berwarna hidup Kyla, tapi entah kenapa ia bertahan sampai sejauh ini.

Sampai sini, mungkin bisa disimpulkan betapa berubahnya kehidupan kacau Kyla semenjak Wenny datang. Wenny yang periang itu datang membawa semua kebahagiaan, mengenalkan Kyla pada orang-orang baru yang sangat baik, membuat Kyla merasa spesial dan lebih kuat lagi untuk bertahan. Wenny benar-benar menjadi sumber kebahagiaan dan alasan Kyla untuk bertahan. Bagi Kyla, Wenny segalanya.

Rumah, itulah satu kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana Kyla menganggap Wenny yang selalu ada untuknya. Lebih dari seorang kekasih ataupun teman, Wenny adalah segalanya untuk Kyla, ia adalah tempatnya untuk pulang. Sekarang, rumah itu tidak lagi menjadi miliknya.

Rindu. Kyla merindukan semuanya tentang Wenny. Paras cantik yang dilihatnya hampir setiap hari, tawa riangnya yang setiap hari didengar Kyla yang sekarang mungkin akan sulit didengarnya lagi, namun sekarang namanya masih selalu terngiang-ngiang di kepala, senyum manis dan tawa riangnya. Ia rindu.

winrina / jiminjeong au


31 Desember 2004


Gadis kecil berusia lima tahun itu berjalan di pingir danau dengan baju yang sedikit basah karena terkena cipratan air dari danau saat berusaha mengambil perahu kertas yang dibawanya dari rumah. Karina namanya, tangan kecil yang kini menggenggam origami berwarna merah muda itu sudah kotor karena tanah yang menempel dan cipratan air tadi.

“Kok baju kamu basah, sih?” tanya seorang gadis kecil lainnya yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Karina, kelihatannya ia baru saja mandi karena masih tercium dengan jelas bau dari minyak telon yang digunakannya. Karina menganggukkan kepalanya pelan, “Aku tadi kecipratan air pas ngambil ini,” jawabnya sambil mengangkat perahu kertas yang ada di tangannya.

“Kenapa diambil? 'Kan itu cuma kertas.”

Karina diam dan menunduk tidak menjawab pertanyaan gadis itu, “Aku bisa bikin perahu kertas yang banyak loh, kamu mau?” tawaran itu langsung membuat Karina menatapnya dengan mata berbinar.

Dengan cepat ia menganggukkan kepalanya semangat, “Mau!” Jawabnya dengan antusias.

“Sini ikut aku,” ajaknya lalu menarik tangan Karina untuk mendekati rumah pohon di dekat danau. Karina menatap gadis itu dengan bingung, “Kamu tahu tempat ini punya siapa?” tanyanya.

Gadis itu mengangguk, “Ini rumah pohon punya aku, Papa yang buatin, keren 'kan?” bukannya menjawab pertanyaan itu, mata Karina justru tertuju pada tulisan yang terukir di pohon tua itu. Winter. “Winter?” tanyanya.

“Itu namaku, artinya musim dingin.” Jawab Winter.

“Kalau namaku, Karina, gak tahu deh artinya apa, bunda yang kasih nama,” ucapnya yang langsung membuat Winter tertawa kecil, “Nama kamu bagus, ayo Karina kita bikin perahu kertas!” serunya.

Karina dan Winter naik ke rumah pohon itu bersama-sama, “Nih, aku punya banyak banget kertas warna-warni, namanya origami” katanya.

Terlihat dari bagaimana cara berbicaranya, Winter memang anak yang sangat aktif, “Ini buat kamu.” Katanya lalu memberikan perahu kertas yang baru saja dilipatnya untuk Karina.

“Makasih, Winter,” ucap Karina.

“Sama-sama! Mulai sekarang kita harus jadi temen ya? Besok aku ulang tahun yang ke empat, kamu dateng ya!”

Karina hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, “Rumah aku di seberang sana,” kata Winter sambil menunjuk ke arah rumah dengan cat putih di seberang jalan melalui jendela di rumah pohon itu.

“Rumah kamu besar, ya.” Sahut Karina, matanya masih fokus menatap rumah putih itu.

“Besar banget, besok kita main di rumahku, aku punya banyak boneka,”

Karina kecil terus memperhatikan bagaimana Winter bercerita, gadis cantik itu memang membawa aura yang sangat cerah bersamanya. Bersyukur Karina mengenalnya.


31 Desember 2021


Seharusnya besok adalah hari dimana Karina merayakan ulang tahun teman kecilnya itu. Matanya kini fokus menatap bingkai foto yang berisikan perahu kertas yang dulu dilipat oleh Winter untuknya. Perahu kertas pertama dan terakhir. Bahkan Karina sama sekali tidak mempunyai potret dirinya bersama Winter.

Karina merasa senang pernah mengenal sosok Winter, karenanya ia jadi lebih menghargai waktu dan kebahagiaan yang dimilikinya. Sejak pertama kali menatap matanya, Karina memang sudah jatuh untuk Winter karena kebaikan hati dan kecerahan senyumnya. Winter, si gadis kecil cantik yang menyapanya di pinggir danau.

Sekarang, teman kecilnya itu mungkin sedang tersenyum menatapnya dari atas sana. “Kamu apa kabar? Besok ulang tahun kamu yang ke dua puluh,” ujar Karina sambil menatap ke luar jendela di rumah pohon.

“Semoga kamu bahagia, selalu.” Katanya lalu menitikkan air mata yang sudah tak bisa lagi terbendung di pelupuk matanya. Selalu sama setiap tahunnya, menghabiskan akhir tahun di rumah pohon dan berdoa untuk Winter.

Rumah pohon itu sudah berusia lebih dari tujuh belas tahun, masih kokoh dan bersih. Karina dengan telaten merawatnya, semenjak kepergian Winter saat itu.

Hari itu di rumah pohon adalah kali pertama dan terakhir Karina bertemu dengannya. Tepat satu hari sebelum ulang tahunnya, Winter pergi untuk selamanya.

Kyla & Wenny


tw // rape, self harm, blood.


Kyla terbangun dari tidur panjangnya tanpa bergerak sedikit pun dan mendapati ada seseorang bertubuh kekar terduduk di sebelahnya, buru-buru ia mengecek keadaan dirinya dengan panik. Bajunya tidak lagi terkancing dengan rapih, orang itu lagi-lagi melakukan hal kotor kepadanya.

Tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, Kyla hanya menitikkan air matanya dalam keadaan bahu yang bergetar hebat karena menahan isak tangis.

Ayah, orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung, justru menodai dirinya. Sekarang orang itu pergi meninggalkan Kyla tanpa mengeluarkan sepatah kata yang berhasil membuatnya mengeluarkan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi.

Dengan tangan bergetar Kyla meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Yudita, teman dekatnya. Ia tidak sanggup berlama-lama di rumah ini setelah mengetahui apa yang terjadi. Rumah ini bahkan sama sekali tidak layak untuk disebut sebagai rumah.

Buru-buru Kyla masuk ke dalam kamar mandi, melihat pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu begitu berantakan, dengan mata sembab dan baju yang sudah kusut, “Kenapa harus gue? Kenapa gue harus bertahan di sini?” tanya Kyla pada bayangannya sendiri, tangisan lagi-lagi menyelimutinta.

Perlahan Kyla membuka baju dan meninggalkan bra yang masih menempel di tubuhnya, diraihnya lagi gunting di dekat cermin itu lalu perlahan menyayat kulit lengan bagian atasnya. Sakit, itulah yang dirasakan oleh Kyla, namun rasa sakit itulah yang berhasil membuatnya bertahan hingga sejauh ini.

Kyla langsung mengelap beberapa tetes darah yang keluar dari lengannya sampai bersih, meninggalkan bekas dari beberapa sayatan yang dibuatnya. Gadis itu langsung memakai kemeja baru yang diambilnya tadi sebelum masuk ke dalam kamar mandi dan bergegas untuk pergi ke rumah Yudita.

Sesampainya di rumah Yudita, gadis bertubuh tinggi itu langsung menggulung lengan bajunya, Kyla tahu ini memang kebiasaannya untuk mengecek apakah ada luka sayatan baru yang dibuat oleh Kyla. Miris memang, namun itu adalah tanda kalau Yudita peduli padanya, walaupun atas permintaan dari Wenny, kekasihnya.


Wenny tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Yudita yang pintunya sudah terbuka lebar-lebar, “Kyla ada di kamar gue, barusan udah gue cek dan gak ada luka baru, ” kata Yudita dengan santai yang tidak mendapatkan jawaban dari Wenny yang langsung buru-buru masuk ke dalam kamar Yudita.

Ia memang tidak bisa meninggalkan Kyla sendirian karena tidak mau terjadi hal apapun yang tidak diinginkannya.

“Kyla ...” panggil Wenny saat pintu kamar Yudita terbuka dibukanya, ia mendapati Kyla sedang berbaring di atas ranjang milik Yudita dengan pandangan kosong ke arah langit-langit kamar.

Wenny langsung duduk di sisi kosong ranjang, “Ada apa di rumah? Kamu gapapa, 'kan?” tanyanya dengan nada yang berusaha dibuat tenang walaupun rasa panik itu jelas terpancar di matanya.

Kyla menggeleng, “Tanganku sakit,” jawabnya.

Tidak bisa dibohongi dari tatapannya, Wenny sangat khawatir setelah mendengar jawaban dari Kyla. Buru-buru ia meraih bahu Kyla dan menyibakkan kemeja yang dikenakan oleh gadis itu hingga menampakkan bahu dan lemgan bagian atasnya. Ada bekas luka baru yang masih basah, Wenny dapat melihat bagaimana kulit itu tergores oleh luka yang cukup dalam.

“Kyla ...” lirihnya, benar-benar tidak tau harus mengatakan apa lagi. Sakit rasanya melihat orang yang disayanginya sekacau ini.

“Maaf, cuma ini yang bisa bikin aku tenang tadi,” kata Kyla yang langsung menitikkan air matanya.

“Gapapa, sayang. Aku bantu obatin, ya?” tanya Wenny dengan mata berkaca-kaca, ia benar-benar ingin berteriak saat ini juga karena melihat keadaan Kyla. Wenny tahu betul apa yang mungkin terjadi di rumah Kyla sebelum gadir itu datang ke sini, namun ia bahkan tidak sanggup menanyakan hal itu.

Wenny beranjak dari duduknya namun dicegah oleh Kyla, “Gak usah, nanti sembuh sendiri,” ucapnya.

“Kenapa kamu kaya gitu lagi?” tanyanya kesal, napas Wenny bahkan mulai tidak teratur. Berkali-kali sudah ia memberi tahu Kyla untuk segera menelponnya kalau memerlukan teman untuk bicara atau sekedar menenangkan.

“Karena aku gak tau harus apa,” jawab Kyla pelan, sebenarnya ia takut Wenny akan meledak saat ini juga namun ia sendiri pun terlalu lelah menghadapi semuanya.

“Aku udah bilang ke kamu, jangan gitu lagi.” Katanya.

“Berisik, aku kaya gini buat ngelupain sakitnya, seenggaknya aku gak kepikiran tentang itu lagi,” bentak Kyla, suaranya mulai bergetar karena tangisannya lagi-lagi menguasai emosi gadis itu.

“Gitu? Dengan cara kamu lukain diri kamu sendiri, itu gak sakit?” tanya Wenny sinis, matanya berkaca-kaca menatap kekasihnya namun dirinya benar-benar dikuasai oleh emosi saat ini.

“Aku gak bakal nyakitin diriku sendiri kalo ada kamu, tapi kamu sibuk sama urusan kamu.” kata Kyla yang mulai menangis. Wenny langsung menatap Kyla yang sedang menangis, emosinya seolah akan meledak saat itu juga.

“Terus kamu mau aku ngapain biar kamu gak kaya gitu? Aku harus dua puluh empat jam ada di sebelah kamu? Iya?” tanya Wenny, nada bicaranya sudah mulai meninggi.

“Gak perlu, aku tau kamu sibuk dan aku gak akan pernah jadi prioritas kamu,” jawab Kyla ketus.

“Maksud kamu apa?” tanyanya.

“Iya, kamu merasa gak kalo aku selalu jadiin kamu prioritas? Bahkan di atas diriku sendiri.”

Wenny tak bergeming, memang benar Kyla selalu menomor-satukan dirinya dari, bahkan disaat genting pun. Kyla selalu menjadi orang yang memberikan semuanya dengan tulus, menyayangi dan memperlakukan Wenny seolah tidak ada orang lain yang lebih penting selain dirinya.

Semua Kyla lakukan karena ia merasa hanya memiliki Wenny di hidupnya, hanya Wenny yang bisa menjadi rumah baginya, menjadi tempat berlindungnya. Kadang Kyla terlalu egois karena menginginkan Wenny untuk selalu bersamanya, terlebih akhir-akhir ini dirinya terus disibukkan oleh beberapa hal.

“Kyla, kamu tau sendiri gimana sibuknya aku di kampus, aku juga mumet, aku juga bisa stress,” jawab Wenny. Perempuan itu langsung mengacak-acak rambutnya kesal.

Wenny bahkan kadang tidak habis pikir dengan tingkah kekanakan Kyla yang selalu menuntutnya ini dan itu. Memang, Wenny sangat menyayangi Kyla, tapi kehidupannya juga tidak melulu tentang gadis itu. Terlebih, Wenny juga memiliki keadaan yang mirip seperti Kyla dengan kondisinya kurang stabil.

Kali ini, Wenny benar-benar lelah menghadapi Kyla.

Broken


tw // self harm, blood, mentioning suicidal.


Kemarin, Wenny akhirnya menjemput Kyla di rumahnya dan sudah bukan hal yang mengejutkan lagi baginya melihat bagaimana kamar kekasihnya itu dipenuhi dengan banyak pecahan beling yang berserakan di lantai dan barang-barang yang tergeletak dengan asal.

Wenny sudah tidak terkejut lagi mendapati adanya bekas cipratan darah yang terlihat dengan jelas di baju milik Kyla hari itu. Sedih tentunya melihat orang yang paling disayang malah menyakiti diri sendiri. Saat itu pandangan Kyla kosong, tidak ada amarah maupun isak tangis seperti biasanya.

Esok hari, keduanya masih menghabiskan waktu di atas kasur Wenny dengan keadaan yang cukup berantakan karena Kyla terus-terusan melawan saat akan diobati oleh Wenny. Kekasihnya itu sangat sabar menghadapi bagaimana Kyla terus menerus mengerang kesakitan akibat tangisnya sendiri.

Semua bisa teratasi dengan baik oleh Wenny, gadis itu memang satu-satunya orang yang bisa membuat Kyla tenang dari amarahnya. Masih dengan tangisan yang terus terdengar, Wenny dengan sabar mengelus dan memeluk Kyla, berusaha menenangkan sang kekasih melalui sentuhan hangatnya.

Wenny baru saja mendapatkan pesan singkat dari Gadis, kakak kandungnya yang mengatakan kalau suara tangis Kyla terdengar hingga ke lantai dasar rumahnya. Ia tidak masalah dengan isak tangis Kyla yang memenuhi ruangan karena dirinya lah yang meminta untuk Kyla tidak menahan tangisnya, ia ingin kekasihnya itu merasa lega dan sedikit lebih tenang.

Wenny tau kalau kekasihnya itu memang sedang tidak baik-baik saja, yang bisa ia harapkan kali ini hanyalah Kyla harus berhenti menganggapnya sebagai rumah atau tempat satu-satunya ia berlindung. Wenny takut kalau nanti ia pergi, Kyla akan semakin hancur.

“Sayang, udah ya nangisnya ... nanti dada kamu sakit,” kata Wenny sambil masih terus mengelus rambut Kyla yang ada di pelukannya. Tangisan Kyla mereda, ia merasa sedikit lega karena sudah mengeluarkan emosinya melalui tangisan di dalam pelukan Wenny.

Mata Wenny kembali tertuju ke arah tangan kekasihnya, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana luka-luka itu terpampang dengan nyata di atas kulit putih milik Kyla, “Sayang ...” panggilnya.

Kyla yang merasa namanya dipanggil pun langsung menolehkan kepalanya, menatap Wenny seolah-olah memberikan pertanyaan, “Jangan sakitin diri kamu lagi, Kyla,” ujar Wenny yang kini meraih pergelangan tangan Kyla yang penuh luka sayatan. Ia merasakan sedikit nyeri di dadanya ketika melihat bagaimana luka itu masih basah di atas kulit Kyla, rasanya sakit melihat orang yang disayanginya terluka seperti ini, “Aku sedih kalau lihat kamu begini,” tambahnya.

Wenny memberikan Kyla tatapan sendu, dapat terpancar kesedihan di mata cantiknya ketika melihat Kyla. Alih-alih menjawab, Kyla justru mendecih dan terkekeh mendengar perkataan Wenny. “Kamu juga sering nyakitin diri kamu sendiri, lupa?”

Kyla benar-benar menjawab kekasihnya dengan nada acuh. Memang benar baik Kyla maupun Wenny, keduanya sangat sering menyakiti diri sendiri, namun di sini, Kyla lah yang lebih lemah dan selalu mengandalkan Wenny ketika ia berada di titik terbawah. Mengetahui hal itu, Wenny sudah berusaha sekeras mungkin untuk mengurangi kebiasaan menyakiti dirinya sendiri, demi Kyla.

Kyla tertawa sinis, “Kamu pikir selama ini aku gak berusaha?” tambahnya dan ia rasa itu bukanlah pertanyaan yang memerlukan jawaban lagi.

“Kyla, aku tahu betul kamu berusaha, kamu hebat. Tapi tolong ... kurangin, ya? Ada aku di sini, jangan sakitin diri kamu sendiri.” kata Wenny, kalau boleh jujur, dirinya pun lelah harus selalu membujuk Kyla agar tidak menyakiti diri sendiri karena kekasihnya itu akan selalu mencari cara untuk menyakiti dirinya sendiri.

“Kamu sendiri gak sekali dua kali pernah nyoba buat bunuh diri,” kata Kyla yang langsung membuat Wenny terkejut, ia tidak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut Kyla, kekasihnya.

“Maksud kamu apa?” tanya Wenny, tatapan yang tadinya sendu dan pilu kini berubah menjadi tatapan kesal, namun masih berusaha menahan dirinya karena ia tahu Kyla sedang tidak stabil saat ini.

“Kamu selalu minta aku untuk gak nyakitin diri sendiri, tapi kamu sendiri gimana?” tanya Kyla dengan nada bicara yang mulai meninggi, sangat terasa kalau emosinya kini sudah mulai memuncak, merusak atmosfer di ruangan tersebut dan memperkeruh suasana antara keduanya.

Wenny hanya menghela napas berat, “Stop, yang aku minta sekarang cuma satu, kamu berhenti buat sakitin diri kamu sendiri.” Katanya yang kemudian langsung memalingkan pandangan dari Kyla lalu duduk di ujung kasur, napasnya mulai tidak teratur karena sedikit tersulut emosi.

“Kamu udah males ya ngadepin aku?” tanya Kyla, tatapannya terlihat seperti sedang diselimuti amarah.

“Kata siapa?” tanya Wenny.

“Kataku.” Jawabnya yang langsung mendekati Wenny di ujung kasur. Kyla benar-benar merasa dirinya menjadi beban bagi banyak orang, bahkan untuk orang-orang yang disayanginya.

Jangankan Wenny, kadang Kyla sendiri bingung apa yang ada di pikirannya, kenapa ia selalu berpura-pura kuat dalam menghadapi semua masalahnya hingga berujung menyakiti dirinya sendiri. Hanya Wenny satu-satunya orang yang dipercaya oleh Kyla, kekasihnya itulah yang mengetahui masalahnya secara detail.

“Maaf aku selalu ngerepotin kamu, kamu pasti capek.” kata Kyla lalu menundukkan kepalanya, rasanya ia ingin menangis saat itu juga namun ditahannya, sudah terlalu sering ia menangis di hadapan Wenny.

It's okay, aku ngerti kamu juga udah berusaha” kata Wenny lalu meraih bahu Kyla untuk memeluk gadis itu lagi.

“Jangan pergi ya ... aku gak tahu gimana nanti kalau gak ada kamu,” ucap Kyla sambil merasakan hangatnya pelukan Wenny. Tidak ada jawaban dari Wenny saat itu, yang ia lakukan hanya mengeratkan pelukannya kepada Kyla.

Pagi itu, lagi-lagi Kyla menangis di pelukannya.

winrina au

winter & karina


“Gue udan bilang sama lo dari awal, jangan pernah naruh perasaan ke gue” kata Winter sambil memijat pelipisnya, terduduk di pinggiran kasur berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan sendu Karina yang ada di depannya sekarang.

“Maksud lo gimana? Gak pake perasaan gimana? Setelah apa yang gue lakuin buat lo?” tanya Karina sambil memegang bahu Winter, berusaha membuatnya fokus kembali menatap Karina yang sudah tidak kuat menahan tangisnya, seolah jika ia menyenggol sedikit saja, tangis itu akan pecah.

Selama ini, hubungan yang mereka jalin terbilang intens dan serius. Sejak awal Winter sudah mengingatkan kalau ia mungkin saja tidak bisa membalas perasaan Karina, namun yang Karina lakukan adalah selalu berusaha untuk membuat Winter merasa nyaman dan senang dengan adanya ia di sekitar.

Memang, awal terjalinnya hubungan mereka adalah karena putusnya Winter dengan sang mantan kekasih —Giselle dan ini memang kesalahan Karina karena mengira ia bisa menggantikan kekosongan tempat bekas orang yang pernah Winter cintai. Namun, semuanya salah karena semua usaha yang dilakukan oleh Karina hanya terbuang sia-sia, tenaga dan waktunya terbuang habis untuk orang yang selama ini ia harapkan yang bahkan mungkin sama sekali tidak menganggapnya ada.

“Lo gak mungkin serius, 'kan? Setelah semua yang gue lakuin dan ini balasan lo?” tanya Karina lagi, berusaha memastikan. Ia menatap mata Winter yang ada di hadapannya, berusaha mencari kebohongan atau paling tidak rasa bersalah dari mata yang selalu menjadi penyemangatnya itu.

“Gue masih sayang sama dia, maaf” jawab Winter sambil menghela napas dan kembali berusaha mengalihkan pandangannya dari Karina. Egois memang Karina kalau memaksakan kehendak agar Winter membalas perasaannya.

“Jangan nangis, lo malah bikin gue jadi merasa bersalah” kata Winter yang langsung dihadiahi tatapan sinis oleh Karina.

Karina tidak pernah berpikir akan jatuh kepada orang sejahat Winter yang sama sekali tidak memiliki rasa bersalah setelah menyakiti perasaan seseorang, bahkan bisa-bisanya mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya.

Selama satu tahun lamanya menjalin hubungan dengan status yang tidak jelas, selalu meluangkan waktu, menjadikan Winter sebagai prioritasnya dan ia justru malah menjadi orang yang paling tidak pernah dilihat dan dihargai.

“Kalau lo mau marah sama gue, silakan, gue akan nerima semuanya, lo bisa pukulin gue sekarang sebagai pelampiasan rasa kesel dan marah lo” kata Winter sambil beranjak dari duduknya, berusaha untuk mensejajarkan dirinya dengan Karina yang sekarang wajahnya sudah dibanjiri oleh air mata.

Winter tau, Karina tidak akan pernah bisa menyakitinya, bahkan untuk berbicara dengannya dengan nada tinggi pun, Karina tidak akan bisa. Apapun yang Karina lakukan untuk Winter, semuanya tulus. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan, ia melakukan semua hal untuk Winter dengan sepenuh hatinya, justru hal itu yang bisa membuatnya merasa bahagia. Tapi sekarang, semua akan selesai disini.

“Mending lo aja yang pukulin gue, pukulin gue sampe mati kalo bisa” kata Karina sambil meraih tangan Winter, menatapnya dengan ekspresi yang bahkan sudah tidak bisa dideskripsikan seberapa kacaunya, dengan air mata yang sudah tidak lagi bisa tergenang di pelupuk matanya.

“Kasih tau gue apa yang lo mau sebagai ganti rugi atas waktu dan tenaga lo selama setahun ke belakang” kata Winter sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Karina.

Ia sama sekali tidak menginginkan apapun dari Winter, ia hanya ingin Winter. Bahkan ia rela membuang dan meninggalkan apapun demi perempuan yang ada di hadapannya sekarang.

“Gue gak mau lo ninggalin gue segampang itu” jawab Karina dengan nada lirih, terdengar sangat putus asa di telinga Winter yang justru hanya menjawab dengan menggelengkan sambil tertawa remeh setelah mendengar jawaban Karina. Ia sudah menduga jawaban itulah yang akan keluar dari mulutnya.

“Sorry, gue gak bisa” jawab Winter singkat sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar Karina.

Karina menatap punggung Winter yang pergi keluar dari kamarnya, sudah tidak kuat lagi menahan tangisannya, semua air mata keluar seiring dengan menghilangnya Winter dari balik pintu kamarnya.


Winter terus memijat pelipisnya, kepalanya pening setelah perdebatannya dengan Karina. Dadanya sakit karena harus mengatakan kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia katakan.

Bohong kalau Winter mengatakan ia tidak memiliki perasaan apapun kepada Karina. Bohong kalau ia mengatakan sama sekali tidak menyayangi Karina.

Memang, awalnya hubungan Karina san Winter terjalin karena adanya masalah yang timbul antara Winter dan Giselle, namun semua hal yang terjadi di hubungan mereka bukan hanya sebatas Winter yang menjadikan Karina pelarian dari masalah.

Tentu, Winter memiliki alasan yang kuat kenapa tadi memperlakukan Karina sejahat itu, ia ingin Karina membenci dan melupakannya lalu memulai kehidupannya yang baru tanpa Winter.

Sakit bagi Winter saat melihat bagaimana keadaan Karina tadi, namun ia merasa sama sekali tidak pantas menerima bahkan satu tetes air mata dari orang yang sangat tulus itu, tidak pantas karena ia tidak akan bisa memberikan perasaan yang sama sepenuhnya pada Karina.

Ia hanya takut, takut akan membuat Karina nantinya lebih sakit lagi. Takut membuat Karina semakin membuang waktunya sia-sia untuk orang yang sama sekali tidak bisa mengerti dirinya, yang hanya bisa merepotkan dan menyusahkannya.

Winter menyadari cara mengakhiri hubungan seperti itu tidaklah mudah,baik bagi Karina maupun dirinya, namun hanya hal inilah yang bisa ia lakukan. Bahkan tatapan itu... mungkin setelah ini Karina tidak akan kesulitan lagi karena dirinya.

Tanpanya, mungkin Karina tidak akan membuang waktunya secara sia-sia lagi dan mungkin juga Karina tidak akan merasakan sakit hati lagi.

Ya, mungkin.