Kyla & Wenny
Broken
tw // self harm, blood, mentioning suicidal.
Kemarin, Wenny akhirnya menjemput Kyla di rumahnya dan sudah bukan hal yang mengejutkan lagi baginya melihat bagaimana kamar kekasihnya itu dipenuhi dengan banyak pecahan beling yang berserakan di lantai dan barang-barang yang tergeletak dengan asal.
Wenny sudah tidak terkejut lagi mendapati adanya bekas cipratan darah yang terlihat dengan jelas di baju milik Kyla hari itu. Sedih tentunya melihat orang yang paling disayang malah menyakiti diri sendiri. Saat itu pandangan Kyla kosong, tidak ada amarah maupun isak tangis seperti biasanya.
Esok hari, keduanya masih menghabiskan waktu di atas kasur Wenny dengan keadaan yang cukup berantakan karena Kyla terus-terusan melawan saat akan diobati oleh Wenny. Kekasihnya itu sangat sabar menghadapi bagaimana Kyla terus menerus mengerang kesakitan akibat tangisnya sendiri.
Semua bisa teratasi dengan baik oleh Wenny, gadis itu memang satu-satunya orang yang bisa membuat Kyla tenang dari amarahnya. Masih dengan tangisan yang terus terdengar, Wenny dengan sabar mengelus dan memeluk Kyla, berusaha menenangkan sang kekasih melalui sentuhan hangatnya.
Wenny baru saja mendapatkan pesan singkat dari Gadis, kakak kandungnya yang mengatakan kalau suara tangis Kyla terdengar hingga ke lantai dasar rumahnya. Ia tidak masalah dengan isak tangis Kyla yang memenuhi ruangan karena dirinya lah yang meminta untuk Kyla tidak menahan tangisnya, ia ingin kekasihnya itu merasa lega dan sedikit lebih tenang.
Wenny tau kalau kekasihnya itu memang sedang tidak baik-baik saja, yang bisa ia harapkan kali ini hanyalah Kyla harus berhenti menganggapnya sebagai rumah atau tempat satu-satunya ia berlindung. Wenny takut kalau nanti ia pergi, Kyla akan semakin hancur.
“Sayang, udah ya nangisnya ... nanti dada kamu sakit,” kata Wenny sambil masih terus mengelus rambut Kyla yang ada di pelukannya. Tangisan Kyla mereda, ia merasa sedikit lega karena sudah mengeluarkan emosinya melalui tangisan di dalam pelukan Wenny.
Mata Wenny kembali tertuju ke arah tangan kekasihnya, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana luka-luka itu terpampang dengan nyata di atas kulit putih milik Kyla, “Sayang ...” panggilnya.
Kyla yang merasa namanya dipanggil pun langsung menolehkan kepalanya, menatap Wenny seolah-olah memberikan pertanyaan, “Jangan sakitin diri kamu lagi, Kyla,” ujar Wenny yang kini meraih pergelangan tangan Kyla yang penuh luka sayatan. Ia merasakan sedikit nyeri di dadanya ketika melihat bagaimana luka itu masih basah di atas kulit Kyla, rasanya sakit melihat orang yang disayanginya terluka seperti ini, “Aku sedih kalau lihat kamu begini,” tambahnya.
Wenny memberikan Kyla tatapan sendu, dapat terpancar kesedihan di mata cantiknya ketika melihat Kyla. Alih-alih menjawab, Kyla justru mendecih dan terkekeh mendengar perkataan Wenny. “Kamu juga sering nyakitin diri kamu sendiri, lupa?”
Kyla benar-benar menjawab kekasihnya dengan nada acuh. Memang benar baik Kyla maupun Wenny, keduanya sangat sering menyakiti diri sendiri, namun di sini, Kyla lah yang lebih lemah dan selalu mengandalkan Wenny ketika ia berada di titik terbawah. Mengetahui hal itu, Wenny sudah berusaha sekeras mungkin untuk mengurangi kebiasaan menyakiti dirinya sendiri, demi Kyla.
Kyla tertawa sinis, “Kamu pikir selama ini aku gak berusaha?” tambahnya dan ia rasa itu bukanlah pertanyaan yang memerlukan jawaban lagi.
“Kyla, aku tahu betul kamu berusaha, kamu hebat. Tapi tolong ... kurangin, ya? Ada aku di sini, jangan sakitin diri kamu sendiri.” kata Wenny, kalau boleh jujur, dirinya pun lelah harus selalu membujuk Kyla agar tidak menyakiti diri sendiri karena kekasihnya itu akan selalu mencari cara untuk menyakiti dirinya sendiri.
“Kamu sendiri gak sekali dua kali pernah nyoba buat bunuh diri,” kata Kyla yang langsung membuat Wenny terkejut, ia tidak pernah menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut Kyla, kekasihnya.
“Maksud kamu apa?” tanya Wenny, tatapan yang tadinya sendu dan pilu kini berubah menjadi tatapan kesal, namun masih berusaha menahan dirinya karena ia tahu Kyla sedang tidak stabil saat ini.
“Kamu selalu minta aku untuk gak nyakitin diri sendiri, tapi kamu sendiri gimana?” tanya Kyla dengan nada bicara yang mulai meninggi, sangat terasa kalau emosinya kini sudah mulai memuncak, merusak atmosfer di ruangan tersebut dan memperkeruh suasana antara keduanya.
Wenny hanya menghela napas berat, “Stop, yang aku minta sekarang cuma satu, kamu berhenti buat sakitin diri kamu sendiri.” Katanya yang kemudian langsung memalingkan pandangan dari Kyla lalu duduk di ujung kasur, napasnya mulai tidak teratur karena sedikit tersulut emosi.
“Kamu udah males ya ngadepin aku?” tanya Kyla, tatapannya terlihat seperti sedang diselimuti amarah.
“Kata siapa?” tanya Wenny.
“Kataku.” Jawabnya yang langsung mendekati Wenny di ujung kasur. Kyla benar-benar merasa dirinya menjadi beban bagi banyak orang, bahkan untuk orang-orang yang disayanginya.
Jangankan Wenny, kadang Kyla sendiri bingung apa yang ada di pikirannya, kenapa ia selalu berpura-pura kuat dalam menghadapi semua masalahnya hingga berujung menyakiti dirinya sendiri. Hanya Wenny satu-satunya orang yang dipercaya oleh Kyla, kekasihnya itulah yang mengetahui masalahnya secara detail.
“Maaf aku selalu ngerepotin kamu, kamu pasti capek.” kata Kyla lalu menundukkan kepalanya, rasanya ia ingin menangis saat itu juga namun ditahannya, sudah terlalu sering ia menangis di hadapan Wenny.
“It's okay, aku ngerti kamu juga udah berusaha” kata Wenny lalu meraih bahu Kyla untuk memeluk gadis itu lagi.
“Jangan pergi ya ... aku gak tahu gimana nanti kalau gak ada kamu,” ucap Kyla sambil merasakan hangatnya pelukan Wenny. Tidak ada jawaban dari Wenny saat itu, yang ia lakukan hanya mengeratkan pelukannya kepada Kyla.
Pagi itu, lagi-lagi Kyla menangis di pelukannya.