Perahu Kertas

winrina / jiminjeong au


31 Desember 2004


Gadis kecil berusia lima tahun itu berjalan di pingir danau dengan baju yang sedikit basah karena terkena cipratan air dari danau saat berusaha mengambil perahu kertas yang dibawanya dari rumah. Karina namanya, tangan kecil yang kini menggenggam origami berwarna merah muda itu sudah kotor karena tanah yang menempel dan cipratan air tadi.

“Kok baju kamu basah, sih?” tanya seorang gadis kecil lainnya yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapan Karina, kelihatannya ia baru saja mandi karena masih tercium dengan jelas bau dari minyak telon yang digunakannya. Karina menganggukkan kepalanya pelan, “Aku tadi kecipratan air pas ngambil ini,” jawabnya sambil mengangkat perahu kertas yang ada di tangannya.

“Kenapa diambil? 'Kan itu cuma kertas.”

Karina diam dan menunduk tidak menjawab pertanyaan gadis itu, “Aku bisa bikin perahu kertas yang banyak loh, kamu mau?” tawaran itu langsung membuat Karina menatapnya dengan mata berbinar.

Dengan cepat ia menganggukkan kepalanya semangat, “Mau!” Jawabnya dengan antusias.

“Sini ikut aku,” ajaknya lalu menarik tangan Karina untuk mendekati rumah pohon di dekat danau. Karina menatap gadis itu dengan bingung, “Kamu tahu tempat ini punya siapa?” tanyanya.

Gadis itu mengangguk, “Ini rumah pohon punya aku, Papa yang buatin, keren 'kan?” bukannya menjawab pertanyaan itu, mata Karina justru tertuju pada tulisan yang terukir di pohon tua itu. Winter. “Winter?” tanyanya.

“Itu namaku, artinya musim dingin.” Jawab Winter.

“Kalau namaku, Karina, gak tahu deh artinya apa, bunda yang kasih nama,” ucapnya yang langsung membuat Winter tertawa kecil, “Nama kamu bagus, ayo Karina kita bikin perahu kertas!” serunya.

Karina dan Winter naik ke rumah pohon itu bersama-sama, “Nih, aku punya banyak banget kertas warna-warni, namanya origami” katanya.

Terlihat dari bagaimana cara berbicaranya, Winter memang anak yang sangat aktif, “Ini buat kamu.” Katanya lalu memberikan perahu kertas yang baru saja dilipatnya untuk Karina.

“Makasih, Winter,” ucap Karina.

“Sama-sama! Mulai sekarang kita harus jadi temen ya? Besok aku ulang tahun yang ke empat, kamu dateng ya!”

Karina hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, “Rumah aku di seberang sana,” kata Winter sambil menunjuk ke arah rumah dengan cat putih di seberang jalan melalui jendela di rumah pohon itu.

“Rumah kamu besar, ya.” Sahut Karina, matanya masih fokus menatap rumah putih itu.

“Besar banget, besok kita main di rumahku, aku punya banyak boneka,”

Karina kecil terus memperhatikan bagaimana Winter bercerita, gadis cantik itu memang membawa aura yang sangat cerah bersamanya. Bersyukur Karina mengenalnya.


31 Desember 2021


Seharusnya besok adalah hari dimana Karina merayakan ulang tahun teman kecilnya itu. Matanya kini fokus menatap bingkai foto yang berisikan perahu kertas yang dulu dilipat oleh Winter untuknya. Perahu kertas pertama dan terakhir. Bahkan Karina sama sekali tidak mempunyai potret dirinya bersama Winter.

Karina merasa senang pernah mengenal sosok Winter, karenanya ia jadi lebih menghargai waktu dan kebahagiaan yang dimilikinya. Sejak pertama kali menatap matanya, Karina memang sudah jatuh untuk Winter karena kebaikan hati dan kecerahan senyumnya. Winter, si gadis kecil cantik yang menyapanya di pinggir danau.

Sekarang, teman kecilnya itu mungkin sedang tersenyum menatapnya dari atas sana. “Kamu apa kabar? Besok ulang tahun kamu yang ke dua puluh,” ujar Karina sambil menatap ke luar jendela di rumah pohon.

“Semoga kamu bahagia, selalu.” Katanya lalu menitikkan air mata yang sudah tak bisa lagi terbendung di pelupuk matanya. Selalu sama setiap tahunnya, menghabiskan akhir tahun di rumah pohon dan berdoa untuk Winter.

Rumah pohon itu sudah berusia lebih dari tujuh belas tahun, masih kokoh dan bersih. Karina dengan telaten merawatnya, semenjak kepergian Winter saat itu.

Hari itu di rumah pohon adalah kali pertama dan terakhir Karina bertemu dengannya. Tepat satu hari sebelum ulang tahunnya, Winter pergi untuk selamanya.