broken

winrina au

winter & karina


“Gue udan bilang sama lo dari awal, jangan pernah naruh perasaan ke gue” kata Winter sambil memijat pelipisnya, terduduk di pinggiran kasur berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan sendu Karina yang ada di depannya sekarang.

“Maksud lo gimana? Gak pake perasaan gimana? Setelah apa yang gue lakuin buat lo?” tanya Karina sambil memegang bahu Winter, berusaha membuatnya fokus kembali menatap Karina yang sudah tidak kuat menahan tangisnya, seolah jika ia menyenggol sedikit saja, tangis itu akan pecah.

Selama ini, hubungan yang mereka jalin terbilang intens dan serius. Sejak awal Winter sudah mengingatkan kalau ia mungkin saja tidak bisa membalas perasaan Karina, namun yang Karina lakukan adalah selalu berusaha untuk membuat Winter merasa nyaman dan senang dengan adanya ia di sekitar.

Memang, awal terjalinnya hubungan mereka adalah karena putusnya Winter dengan sang mantan kekasih —Giselle dan ini memang kesalahan Karina karena mengira ia bisa menggantikan kekosongan tempat bekas orang yang pernah Winter cintai. Namun, semuanya salah karena semua usaha yang dilakukan oleh Karina hanya terbuang sia-sia, tenaga dan waktunya terbuang habis untuk orang yang selama ini ia harapkan yang bahkan mungkin sama sekali tidak menganggapnya ada.

“Lo gak mungkin serius, 'kan? Setelah semua yang gue lakuin dan ini balasan lo?” tanya Karina lagi, berusaha memastikan. Ia menatap mata Winter yang ada di hadapannya, berusaha mencari kebohongan atau paling tidak rasa bersalah dari mata yang selalu menjadi penyemangatnya itu.

“Gue masih sayang sama dia, maaf” jawab Winter sambil menghela napas dan kembali berusaha mengalihkan pandangannya dari Karina. Egois memang Karina kalau memaksakan kehendak agar Winter membalas perasaannya.

“Jangan nangis, lo malah bikin gue jadi merasa bersalah” kata Winter yang langsung dihadiahi tatapan sinis oleh Karina.

Karina tidak pernah berpikir akan jatuh kepada orang sejahat Winter yang sama sekali tidak memiliki rasa bersalah setelah menyakiti perasaan seseorang, bahkan bisa-bisanya mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya.

Selama satu tahun lamanya menjalin hubungan dengan status yang tidak jelas, selalu meluangkan waktu, menjadikan Winter sebagai prioritasnya dan ia justru malah menjadi orang yang paling tidak pernah dilihat dan dihargai.

“Kalau lo mau marah sama gue, silakan, gue akan nerima semuanya, lo bisa pukulin gue sekarang sebagai pelampiasan rasa kesel dan marah lo” kata Winter sambil beranjak dari duduknya, berusaha untuk mensejajarkan dirinya dengan Karina yang sekarang wajahnya sudah dibanjiri oleh air mata.

Winter tau, Karina tidak akan pernah bisa menyakitinya, bahkan untuk berbicara dengannya dengan nada tinggi pun, Karina tidak akan bisa. Apapun yang Karina lakukan untuk Winter, semuanya tulus. Ia sama sekali tidak merasa direpotkan, ia melakukan semua hal untuk Winter dengan sepenuh hatinya, justru hal itu yang bisa membuatnya merasa bahagia. Tapi sekarang, semua akan selesai disini.

“Mending lo aja yang pukulin gue, pukulin gue sampe mati kalo bisa” kata Karina sambil meraih tangan Winter, menatapnya dengan ekspresi yang bahkan sudah tidak bisa dideskripsikan seberapa kacaunya, dengan air mata yang sudah tidak lagi bisa tergenang di pelupuk matanya.

“Kasih tau gue apa yang lo mau sebagai ganti rugi atas waktu dan tenaga lo selama setahun ke belakang” kata Winter sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Karina.

Ia sama sekali tidak menginginkan apapun dari Winter, ia hanya ingin Winter. Bahkan ia rela membuang dan meninggalkan apapun demi perempuan yang ada di hadapannya sekarang.

“Gue gak mau lo ninggalin gue segampang itu” jawab Karina dengan nada lirih, terdengar sangat putus asa di telinga Winter yang justru hanya menjawab dengan menggelengkan sambil tertawa remeh setelah mendengar jawaban Karina. Ia sudah menduga jawaban itulah yang akan keluar dari mulutnya.

“Sorry, gue gak bisa” jawab Winter singkat sambil melangkahkan kakinya keluar dari kamar Karina.

Karina menatap punggung Winter yang pergi keluar dari kamarnya, sudah tidak kuat lagi menahan tangisannya, semua air mata keluar seiring dengan menghilangnya Winter dari balik pintu kamarnya.


Winter terus memijat pelipisnya, kepalanya pening setelah perdebatannya dengan Karina. Dadanya sakit karena harus mengatakan kata-kata yang sebenarnya tidak ingin ia katakan.

Bohong kalau Winter mengatakan ia tidak memiliki perasaan apapun kepada Karina. Bohong kalau ia mengatakan sama sekali tidak menyayangi Karina.

Memang, awalnya hubungan Karina san Winter terjalin karena adanya masalah yang timbul antara Winter dan Giselle, namun semua hal yang terjadi di hubungan mereka bukan hanya sebatas Winter yang menjadikan Karina pelarian dari masalah.

Tentu, Winter memiliki alasan yang kuat kenapa tadi memperlakukan Karina sejahat itu, ia ingin Karina membenci dan melupakannya lalu memulai kehidupannya yang baru tanpa Winter.

Sakit bagi Winter saat melihat bagaimana keadaan Karina tadi, namun ia merasa sama sekali tidak pantas menerima bahkan satu tetes air mata dari orang yang sangat tulus itu, tidak pantas karena ia tidak akan bisa memberikan perasaan yang sama sepenuhnya pada Karina.

Ia hanya takut, takut akan membuat Karina nantinya lebih sakit lagi. Takut membuat Karina semakin membuang waktunya sia-sia untuk orang yang sama sekali tidak bisa mengerti dirinya, yang hanya bisa merepotkan dan menyusahkannya.

Winter menyadari cara mengakhiri hubungan seperti itu tidaklah mudah,baik bagi Karina maupun dirinya, namun hanya hal inilah yang bisa ia lakukan. Bahkan tatapan itu... mungkin setelah ini Karina tidak akan kesulitan lagi karena dirinya.

Tanpanya, mungkin Karina tidak akan membuang waktunya secara sia-sia lagi dan mungkin juga Karina tidak akan merasakan sakit hati lagi.

Ya, mungkin.