dracorion

winselle au

Gadis & Wina


major character's death

Setelah kepergian Gadis setahun lalu, Winaya mulai diasuh oleh Wina. Ia mengubah panggilan si kecil menjadi Naya, masih memiliki arti yang sama dengan namanya, hanya untuk mempermudah keduanya dalam berkomunikasi.

Tidak terasa sudah satu tahun terlewatkan, hari paling menyakitkan bagi Wina dan Naya melepas kepergian Gadis untuk selamanya. Tidak ada yang mengetahui kalau Gadis sudah menyimpan rahasia itu selama tiga tahun sebelum kepergiannya, ia mengidap kardiovaskular yang merenggut nyawanya.

Kesedihan keduanya sudah tidak bisa digambarkan lagi, kehilangan orang paling berharga di kehidupan mereka, “Mama lagi ngapain ya, kira-kira” kata Naya yang ada di sebelah Wina dengan pandangan kosong menatap danau di depannya.

Naya sudah sangat dekat dengan Wina, semenjak kedatangannya saat itu ia memutuskan untuk tinggal bersama Naya dan Gadis. Ia selalu menjaga Naya dengan sepenuh hati, seolah anak itu lahir dari kandungannya.

“Mama pasti lagi senyum ngeliatin kita” jawab Wina sambil tersenyum ke arah Naya. Tidak terasa sudah sangat dekat hubungan antara keduanya sehingga Naya juga menganggap Wina sebagai ibu keduanya.

“Ibu, gak boleh sedih ya? Nanti mama disana juga sedih, loh” kata Naya sambil mengusap pipi Wina yang tersenyum dengan air mata yang membasahi pipinya. Wina masih mengingat betapa sulitnya keadaan yang ia hadapi setelah Gadis menikah, dimana ia harus terus berusaha berdamai dengan kenangan yang disimpannya, berdamai dengan dirinya sendiri yang selalu bersedih memikirkan Gadis dengan kehidupan barunya.

Sampai pada suatu hari ia bisa bertemu kembali dengan orang yang dicintainya itu, hidup bersama walaupun tidak dalam waktu yang lama dan Gadis meninggalkannya bersama Naya. Wina sudah berjanji pada dirinya sendiri akan menyayangi Naya sebagaimana ia menyayangi Gadis. Sekarang, orang yang mereka sayangi sudah tenang disana, mungkin sedang menatap keduanya yang sedang saling menguatkan.

Yang akan selalu tersimpan di benak Wina adalah perasaan keduanya yang abadi dan tidak akan bisa digantikan oleh waktu atau siapapun.


Hari-hari dijalani Wina dengan mengurus Naya dan bekerja setiap harinya. Banyak orang yang membicarakan bagaimana Wina saat ini dengan menyudutkan dan mengatakan hal-hal negatif kepadanya seperti berkata kalau Wina membuang-buang waktunya mengurus anak dari seseorang yang dikira sebagai sahabatnya itu dan memilih untuk tidak menikahi laki-laki manapun.

Wina sama sekali tidak merasakan sakit hati akibat perkataan buruk orang-orang terhadapnya, ia sangat menikmati hidupnya dengan tenang bersama Naya, anaknya.

Ia sama sekali tidak peduli bagaimana orang-orang selalu mengatakan kalau Naya bukanlah anak kandung yang harus diurusnya, yang diketahuinya adalah ia akan selalu menyayangi Naya seperti anaknya sendiri karenaanak itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa kalau Gadis masih ada disini, bersamanya. Ia merasakan kehangatan dan kasih sayang dari Naya yang menganggapnya sebagai seorang ibu, membuat hari-harinya lebih cerah dan bersemangat.

Mungkin akan terlihat menyedihkan di mata orang-orang mengetahui kalau Naya adalah anak dari perempuan yang dicintai oleh Wina lebih dari seorang sahabat dan akan sangat menyedihkan juga kalau orang-orang tau Gadis harus terpaksa menikahi laki-laki lalu meninggalkan Wina pada saat itu hanya demi memenuhi standar kehidupan manusia yang dianggap normal.

Sangat menyedihkan ketika kita dipaksa untuk bersama dengan orang yang tidak kita inginkan, dipaksa untuk berpisah dengan orang yang kita cintai. Sekejam itukah dunia? Sejahat itukah kehidupan? Entahlah.

Yang bisa dilakukan Wina sekarang adalah menikmati hidupnya sebagai ibu tunggal dari Naya, memberikan anak semata wayangnya itu kasih sayang agar ia tidak merasakan apa yang dirasakan oleh kedua ibunya terdahulu. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Naya.

winselle au

Gadis & Wina


Sore hari yang cerah, sore yang sudah tidak sama lagi seperti dulu, sore yang tetap menyenangkan walau dengan cara yang berbeda. Gadis selalu menghabiskan sore harinya bersama orang yang disayang dan dicintainya.

Dulu, semua terasa menyenangkan dan menyejukkan hati. Orang itu selalu menemaninya disaat susah maupun senang. Sayangnya, semua harus berakhir karena hubungan mereka adalah hubungan yang terlarang.

“Mama, kakak itu cantik banget” kata si kecil sambil menunjuk orang yang ada di seberang sana. Gadis langsung mengalihkan pandangannya ke orang yang ditunjuk oleh anak semata wayangnya itu. Ia tidak menyangka akan menemukannya disini. Setelah bertahun-tahun menghilang dan akhirnya bertemu lagi, ia masih sama seperti dulu. Tidak ada sedikitpun yang berubah dari dirinya, bahkan senyuman cantiknya pun masih sama.

Seandainya, mereka tidak pernah bertemu kala itu. Seandainya, mereka tidak pernah mencoba menjalin hubungan terlarang itu, mereka tidak akan merasakan sakit yang mereka rasakan saat ini. Gadis masih bisa mengingat kala itu, dimana menjadi hari yang menyenangkan di mata semua orang namun tidak bagi mereka berdua. Menjadi hari dimana semuanya seolah runtuh bersamaan dengan harapan dan kenangan yang pernah mereka ukir bersama.

Dulu, ia pikir semua orang akan menerima bagaimana dirinya. Ia pikir dengan semua orang mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya, mereka akan menyetujui apapun keputusan Gadis. Ternyata semuanya salah, semuanya justru hancur begitu saja dengan memberikan paksaan untuk menikahi laki-laki yang tidak dicintainya.

Sekarang, Gadis sudah memiliki keluarga kecil yang ia sayangi. Memang sulit awalnya, sekarang pun masih sama sulitnya namun semua harus tetap berjalan seperti biasa. Ada si kecil yang membutuhkan perhatiannya, membutuhkan kasih sayangnya sebagai seorang ibu.

”Gadis” panggil orang itu ketika berada di depannya. Semuanya benar-benar masih sama bahkan saat Gadis melihatnya dari dekat, dengan jarak kurang dari dua meter. Melihat semuanya masih sama di depan matanya sendiri, ia merasa seolah semuanya hilang, semua beban di bahunya selama ini, semua kesedihan yang ia simpan sendirian, semua hilang seiring dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.

Wina menatap Gadis dengan tatapan sendu, melihat bagaimana mantan kekasihnya yang sekarang sudah memiliki keluarga dan kebahagiaan yang mungkin dibutuhkannya. Wina menghapus jarak antara keduanya dan memeluk Gadis, orang yang pernah atau bahkan masih dicintainya.

Keduanya berpelukan dalam diam sore itu, dengan air mata yang saling membasahi bahu keduanya. Semua beban seolah hilang dalam satu waktu, seiring dengan tangisan keduanya bertemu.

“Ini anak kamu?” tanya Wina kepada Gadis sambil menekuk lutut, mensejajarkan tingginya dengan si gadis kecil yang sedang tersenyum lucu di hadapannya. Gadis hanya menjawabnya dengan anggukkan sambil mengelus kepala anaknya.

“Nama kamu siapa, sayang?” tanya Wina sambil menggenggam tangan si kecil.

“Nama aku Winaya” jawabnya tanpa ragu sambil terus tersenyum menatap Wina yang ada di hadapannya. Mendengar jawaban si kecil, Wina langsung menatap Gadis dengan bingung. Yang diberikan tatapan bingung itu hanya menganggukkan kepalanya sambil mengelus kepala Winaya.

“I name her after you”


“Gimana kabar kamu, Wina?” tanya Gadis saat mereka berdua duduk di bangku taman yang ada di pinggir danau, sambil sesekali melihat si kecil yang sedang bermain sendirian.

“Aku tentunya baik-baik aja, sesuai janjiku dulu” jawab Wina yang berhasil membuat Gadis tersenyum mendengar jawabannya, mengetahui kalau keduanya berusaha menepati janji mereka. Janji untuk selalu bahagia.

Walaupun yang sebenarnya Gadis rasakan selama lima tahun terakhir ini kebanyakan hanyalah rasa sakit. Di depan Winaya, ia selalu tersenyum, tertawa dan terlihat bahagia lalu di malam hari ketika anaknya itu terlelap tidur, ia mulai menangis. Bersyukur ia memiliki pendamping hidup yang mengerti dan tidak menuntut ini dan itu atas perbedaan mereka.

Dia kemana? Kok kalian berdua aja?” tanya Wina.

Gadis hanya menggeleng, “dia udah tenang, disana” jawabnya. Wina sedikit terkejut mengetahui kabar itu.

“Kenapa bisa?” tanya Wina sambil meraih tangan Gadis ke genggamannya. Bisa dilihat dari raut wajah Gadis yang mulai menunjukkan kesedihan.

Dia sakit” jawab Gadis sambil menundukkan kepalanya, “aku nyesel karena selama pernikahan kami, aku selalu ngebebanin dia dengan bilang aku masih sayang sama kamu, masih cinta sama kamu” kata Gadis sambil mengalihkan pandangan dengan menatap danau di depannya.

Wina agak terkejut mendengar jawaban Gadis yang menyatakan bahwa ia masih memikirkan Wina selama lima tahun ke belakang. Wina langsung merengkuh dan memeluk Gadis yang kembali terisak karena teringat oleh kenangan buruk miliknya.

“Maafin aku yang gak bisa nepatin janji” kata Gadis sambil masih menangis di bahu Wina.

Wina terus mengelus punggung Gadis dan berusaha menenangkannya. Sebenarnya sama halnya dengan Gadis, dirinya juga selalu merasakan sakit setiap harinya. Entah kenapa keduanya bisa bertahan selama lima tahun lamanya dan dipertemukan kembali, seolah takdir ingin keduanya bersatu.

Gadis selalu berpikir, mungkin bagi orang lain hubungan mereka adalah hubungan terlarang karena mereka sama-sama perempuan, namun apa yang bisa mereka lakukan? Sudah berusaha melupakan dan saling melepas pun mereka justru malah saling menyakiti.

“Wina, boleh aku minta tolong sesuatu ke kamu?” tanya Gadis sambil menatapnya, bisa dilihat air mata masih menggenang di pelupuk matanya.

“Jangan pergi lagi... maafin aku udah ninggalin kamu kemarin” katanya sambil kembali menangis. Wina hanya merespon dengan terus mengelus kepala Gadis yang bersandar di bahunya.

“Aku kembali lagi emang untuk kamu, Gadis.” katanya.

Merasakan hangat pelukan Wina membuat Gadis semakin ragu untuk menyampaikan pesan yang ingin ia katakan pada perempuan itu sebelum mereka bertemu.

“Makasih banyak Wina, aku sayang kamu” kata Gadis sambil mengeratkan pelukan mereka.

Gadis yang sejak tiga tahun lalu didiagnosis mengidap kardiovaskular yang memungkinkan ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

winselle au

Gadis & Wina


Hari ini adalah hari yang menyenangkan bagi semua orang, hari dimana Gadis akan melepas masa lajangnya dengan laki-laki yang ia sayangi, namun tidak ia cintai. Hari ini adalah hari dimana semua orang akan menyaksikan Gadis tersenyum di hadapan semua orang dengan seorang laki-laki yang akan mendampingi hidupnya.

Gadis tersenyum di hadapan semua orang, memasang topeng seolah sedang berbahagia. Mungkin ada beberapa orang yang menyadari senyuman yang sebetulnya menyimpan sakit. Sudah sampai di penghujung acara dimana teman-teman kedua mempelai dapat berbincang dan melepas hari terakhir dimana mereka bisa bebas berbincang dan melepas tawa.

Momen yang seharusnya menjadi momen menyenangkan, justru membuat Gadis merasakan sakit karena melihat orang yang berada di hadapannya saat ini.

“Kamu cantik” katanya. Dua kata yang berhasil membuat Gadis meneteskan air matanya, dua kata yang biasanya ia dengar dengan nada ceria, yang selalu keluar dari mulut orang tercintanya. Hari ini, dua kata itu seolah membawa pilu, membawanya ingin merasakan kembali momen dimana ia bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.

“Jangan nangis” kata Wina sambil mengusap air mata di pipi Gadis, berusaha untuk membuat Gadis tidak bersedih dengan tersenyum manis yang justru membuatnya makin terisak. Ia menghapus jarak antara keduanya, memeluk orang yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan canda. Orang yang pernah dan akan selalu ada di hatinya.

“Hari ini, hari bahagia kamu... kamu harus selalu inget pesan aku untuk bahagia terus, ya” katanya sambil mengusap punggung Gadis yang ada di dalam pelukannya. Ia berusaha melepas pelukannya dan menatap mata sang mantan kekasih yang sedikit sembab.

Wina tersenyum melihat orang yang ia sayang akan menempuh kehidupan baru yang lebih serius, walau bukan dengan dirinya. Ia sudah menduga dari awal hari ini akan terjadi, kapanpun itu mereka pasti akan terpisah. Sebesar apapun rasa cinta mereka.

Gadis memberikan buket bunga yang ada di tangannya kepada Wina, “aku mau kamu yang pegang” katanya.

“Kenapa? Bukannya buket ini harusnya dilempar dan direbutin sama yang lainnya?” tanya Wina

Gadis hanya menggeleng, “ini hadiah terakhir dari aku yang harus kamu simpen, aku sengaja pilih bunga lilly untuk pernikahanku” katanya sambil meraih tangan Wina untuk mengambil buket bunga miliknya.

“Kenapa kamu pilih lilly?” tanya Wina sambil memperhatikan bunga yang sekarang ada di genggamannya.

“Lilly itu lambang cinta pertama” jawab Gadis singkat. Jawaban yang berhasil membuat Wina akhirnya meneteskan air mata.

winrina au

slightly winselle (winter giselle), jenrina (jeno karina)


“Maaf aku gak bisa lanjutin semuanya, aku capek sama kamu”

Kata-kata yang keluar dari mulut Giselle itu terus terngiang-ngiang di kepala Winter, ia tau betul bagaimana mantan kekasihnya itu selalu sabar menghadapi dirinya yang terlalu banyak menuntut ini dan itu.

Sekarang Winter masih berada di dalam mobil Karina, sahabatnya itu masih fokus menyetir sambil sesekali menyenandungkan lagu yang diputar dengan Winter di sebelahnya yang masih menatap ke arah luar mobil, melihat bagaimana rintik hujan membasahi kaca di hadapannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan bagaimana Giselle beberapa jam lalu mengakhiri hubungan keduanya.

Winter dan Giselle sedang tidak baik-baik saja, keduanya terus-terusan bertengkar dan tidak ada salah satu dari mereka yang mau mengalah. Winter akui, dirinya pun lelah menghadapi Giselle dan dirinya sendiri. Keduanya sama-sama salah, memang sudah saatnya hubungan mereka berakhir.

Karina menghentikan mobilnya di parkiran restoran cepat saji paling terkenal itu, “lu tunggu disini deh, gue yang pesen makanan ke dalem nanti kita makan di mobil” kata Karina dan berhasil membuat Winter bertanya-tanya, “kenapa nggak drive thru aja kalo gitu?” tanyanya.

“Udah tunggu aja disini, sepuluh menit” kata Karina lalu mengusap kepala Winter sebelum keluar dari mobilnya.

Entah perasaan macam apa yang dirasakan oleh Winter saat ini, ia benar-benar baru saja putus dari Giselle beberapa jam lalu dan sekarang ia malah tersipu hanya karena Karina mengusap kepalanya sambil tersenyum manis. Winter akui, dulu ia pernah menyimpan rasa pada Karina namun karena beberapa alasan, ia tidak ingin menyatakan perasaannya.

Bayangkan, bila persahabatan yang sudah lama dijalin bisa saja rusak dalam waktu sekejap hanya karena salah satunya menyatakan perasaan. Winter tidak mau hal itu terjadi. Aneh memang, bagaimana bisa Winter menyukai Karina yang jelas-jelas tidak memiliki ketertarikan terhadap perempuan, beda dengan dirinya.

Karina kembali ke mobil saat Winter masih terfokus dengan lamunannya. Diletakkannya kantung makanan itu di atas paha Winter, “gue beli banyak banget buat kita berdua” katanya sambil menyunggingkan senyuman, lagi-lagi mengusap kepala Winter dengan lembut.

“Mau langsung cerita?” tanya Karina sambil mengutak-atik alat pemutar musik yang ada di dalam mobilnya, memutar lagu dari playlist kesukaannya.

Winter hanya menjawab pertanyaan Karina dengan anggukkan kecil, mulai bercerita tentang semua kejadian yang akhir-akhir ini membuat keduanya bertengkar, mulai dari perdebatan kecil hingga puncak kemarahan keduanya beberapa jam lalu. Bukan hanya Giselle yang marah, Winter juga. Memang keduanya sudah terlalu sering saling menyakiti secara langsung ataupun tidak dan berpisah mungkin akan menjadi jalan satu-satunya yang terbaik untuk mereka.

“Sedih, ya?” tanya Karina sambil mengusap pipi sahabatnya yang basah karena air mata di malam itu. Entah kenapa pertanyaan yang diberikan oleh Karina seolah menjadi pengobat lukanya. Memang, sekarang ia terlihat seperti orang yang sedang terpuruk karena baru saja menyelesaikan hubungan dengan sang mantan kekasih, namun entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Karina saat ini, seorang sahabat yang sedang berusaha menghiburnya.

Perlahan Karina mulai menarik badan Winter, memeluknya dengan nyaman. Yang dipeluk hanya memejamkan mata, menerima kehangatan yang disalurkan di tengah malam dengan hujan lebat di luar sana. Karina melepaskan pelukan keduanya, “makan nih, gue beli burger banyak banget” katanya sambil mengeluarkan makanan cepat saji itu dari dalam kantung kertasnya. Winter langsung mengambil burger yang disodorkan oleh Karina dan menyandarkan kepalanya ke bahu Karina.

Malam ini keduanya larut dalam pikiran masing-masing, Karina masih disana menemani Winter yang bersandar di bahunya dengan nyaman. Entah kenapa, ia merasa saat ini seperti waktu yang tepat untuk menyatakan hal yang sudah lama dipendamnya.

“gue dulu pernah suka sama lo” kalimat bodoh itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Karina yang justru membuat Winter membeku di bahunya. Tentunya gadis itu terkejut mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya.

Karina, seorang sahabat yang pernah disukainya —dulu, ternyata juga menyukainya. Yang bisa dilakukan Winter saat ini hanya diam, tidak merespon ucapan Karina, ia bahkan tidak paham apa konteks dari 'suka' yang Karina maksudkan. Suka sebagai sahabat, mungkin?

“gue kira dulu lo gak tertarik buat pacaran sama cewek, ternyata lo malah jadian sama Giselle waktu itu” kata Karina yang lagi-lagi membuat Winter terkejut, apa maksudnya? Berarti Karina sudah menyukainya selama itu? Dan konteks pembicaraan mereka tentu saja rasa 'suka' yang lebih dari seorang teman.

“Jangan ngomong aneh-aneh, lo udah punya Jeno sekarang” kata Winter, mencegah Karina untuk mengeluarkan berbagai omongan yang berpotensi membuatnya merasa lebih bingung lagi.

“Seandainya dulu gue berani nyatain perasaan gue, mungkin lo gak akan sakit sama Giselle kaya sekarang” kata Karina, nadanya terdengar serius.

“Ya, kalaupun hal itu kejadian mungkin sekarang kita juga lagi bertengkar atau udah gak kenal karena putus” jawabnya, ia berspekulasi bahwa sebenarnya Karina mengetahui bagaimana perasaannya sebelum bersama Giselle, yaitu menyukainya.

Lancang memang karena Karina tiba-tiba mengeluarkan pernyataan aneh saat keduanya sedang bertemu dengan tujuan untuk menghibur Winter yang baru saja putus. Tujuannya mengatakan itu kepada Winter memang hanya untuk melegakan perasaannya, egois memang. Di suasana seperti ini.

Winter tau dirinya dan Karina memang sudah sangat dekat, terlalu dekat untuk ukuran sepasang sahabat.

“Jangan tinggalin gue, ya” kata Winter pelan, ada ketakutan terdengar dari suaranya malam itu. Karina tahu, sakit pasti ditinggalkan oleh orang yang sudah bersama-sama dengan kita selama hampir satu tahun lamanya.

“Gue sayang sama lo, gue bakal selalu disini” kata Karina, tangannya terjulur untuk mengusap tangan Winter, menyalurkan kehangatan dari tangannya melalui genggaman. Ada rasa sakit di dalam diri keduanya setelah itu, sakit karena mengetahui fakta bahwa mereka memang ditakdirkan hanya untuk menjadi sepasang sahabat yang saling menyayangi, tidak lebih.

Menjadi sahabat mungkin adalah jalan terbaik untuk keduanya, sebesar apapun rasa sayang mereka.


Sudah satu jam Yeri dan Saeron menghabiskan waktu di cafe dengan makan dan membicarakan banyak hal, namun tidak ada salah satu dari mereka yang berani menyinggung kejadian yang terjadi seminggu lalu di Bali.

Dengan canggung Yeri membuka obrolan ke arah lain, “Saeron, yang di Bali kemarin...” bukanya yang membuat Saeron agak sedikit gelagapan.

“Kenapa? Ada yang perlu diomongin lagi?” tanyanya, sebenarnya ia tau kalau Yeri ingin membahas tentang ciuman malam itu.

Saeron sendiri tidak tahu apa yang ada di pikirannya sampai berani membalas ciuman itu, ia tidak pernah menyangka hal itu akan terjadi —dengan sahabatnya sendiri.

“Gue minta maaf sebelumnya” kata Yeri.

“Gue udah bilang, 'kan, gak usah minta maaf” sahutnya, singkat.

“Gue suka sama lo” kata Yeri lagi, tidak peduli dengan reaksi Saeron setelahnya, dapat dirasakan atmosfer canggung siang itu.


Sudah memasuki hari ke lima, Saeron dan Yeri menghabiskan waktu keduanya di Bali dengan berdiam di salah satu unit villa terbesar di Bali.

Yeri sangat menikmati bagaimana keduanya bersantai dan menghabiskan waktu bersama, terlebih keduanya sama-sama jarang memegang ponsel masing-masing dan sibuk berbincang, bercanda, dan tertawa, benar-benar menghabiskan waktu dengan berkualitas.

Saeron yang beberapa minggu ini agak kelimpungan karena tugas dan perkuliahan sebelum mendapatkan libur semester, ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti Yeri yang bisa selalu menemaninya kemanapun bahkan ketika ia kesulitan.

Malam ini, keduanya berencana menghabiskan waktu di pantai belakang villa dengan hidangan yang sudah mereka pesan beserta api unggun kecil sebagai penghangat.

Dapat terdengar bagaimana deburan ombak dan hembusan angin menerpa, Yeri dan Saeron, keduanya masih fokus menatap pantai dengan langit gelap dan pencahayaan yang minim dari api unggun kecil.

Dua gelas wine berada di sebelah mereka, keheningan menyelimuti keduanya sampai Saeron mengajak Yeri untuk duduk lebih dekat, “sinilah, jangan jauh-jauh” ajaknya lalu merangkul Yeri, sudah menjadi kebiasaan untuk si puan tinggi itu.

Yeri kembali merasakan bagaimana kupu-kupu di perutnya bereaksi, rasanya malam ini adalah malam yang akan selalu diingat sebab bagaimana ia dan orang yang dicintainya, saling merangkul menatap ombak yang bergulung.

Perlahan Yeri menyandarkan kepalanya di bahu Saeron, rasanya sangat nyaman walaupun jantungnya berdebar cepat.

Saeron masih terus merangkul Yeri, sesekali menikmati wine yang sudah dipesannya tadi, “Rasanya pengen hidup di Bali selamanya” kata Saeron tiba-tiba yang membuat Yeri langsung menoleh, menatap Saeron yang merangkulnya malam itu.

“Kenapa?” tanyanya.

“Enak aja ... Bali itu tenang, kalo bisa gue mau tinggal di Bali aja setelah lulus nanti, gue bisa ke pantai setiap gue capek” jawab Saeron sambil menghela nafas, Yeri bisa melihat senyuman tipis di wajah sahabatnya itu.

“Kalo gitu, gue juga bakal ikut tinggal di Bali setelah lulus” katanya sambil terkekeh yang —entah kenapa, membuat Saeron menolehkan wajahnya yang justru membuat jarak wajah keduanya sangat dekat.

Didukung oleh suasana pantai yang tenang malam itu, Saeron dan Yeri berakhir dengan saling mempertemukan bibir keduanya.

Semuanya terjadi begitu saja malam itu, entah apa yang ada di pikiran keduanya. Yeri sama sekali tidak ingat kenapa hal itu bisa terjadi, di luar kendalinya, mungkin.

Yeri malam itu dengan panik langsung meminta maaf pada sahabatnya, takut Saeron merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi, namun jawaban sahabatnya itu di luar ekspektasi, “gapapa, santai aja” kata Saeron sambil kembali meminum winenya.


Saeron telah sampai di rumah Yeri sejak tiga puluh menit yang lalu, sekarang gadis itu tengah sibuk memainkan ponsel sambil memakan snack di tangannya.

“Saeron, besok flight kita pagi jam 8 gitu, berarti berangkatnya jam 7 aja ya, gausah pagi-pagi banget soalnya semua udah ready” kata Yeri yang hanya dijawab anggukkan kecil oleh Saeron.

“Eh nonton yuk” ajak Saeron lalu menghidupkan televisi yang telah terhubung dengan perangkat android, yang ada di kamar sahabatnya itu.

Yeri yang tadinya sedang duduk santai di kursi meja belajar, mendengar ajakan Saeron langsung beranjak dari duduknya dan ikut merebahkan diri di sebelah saeron.

Saeron reflek langsung merangkul sahabatnya yang entah kenapa justru membuat jantung Yeri berdebar dua kali lipat, perasaan semacam inilah yang beberapa minggu terakhir dirasakan oleh Yeri setiap Saeron melakukan kontak fisik atau hal yang menurutnya manis kepada si puan itu.

“Lu mau gak nih, snacknya?” tanya Saeron menyodorkan jajan di tangannya yang ditolak pelan oleh Yeri, memberi kode kalau ia hanya ingin fokus menonton tayangan di hadapan mereka saat ini.

Saeron yang paham akan kode sahabatnya hanya mengangguk, keduanya kembali fokus pada tontonan di depan mereka. Yeri terlihat sangat fokus, namun tenggelam dalam pikirannya, mengikuti pikiran-pikiran aneh yang sejak beberapa minggu ini menghantuinya.

Bukannya Yeri tidak mengetahui perasaan macam apa yang ia rasakan pada Saeron, hanya saja, ini sahabatnya ... dan ia tidak tahu apakah Saeron memiliki ketertarikan yahg sama seperti dirinya, terlebih keduanya tinggal di Indonesia, tempat dimana pasangan sesama jenis akan sangat sulit diterima di masyarakat.

Yeri hanya menghela nafas berat saat menyadari bahwa ia telah terlarut terlalu dalam dengan pikirannya, ia kembali fokus pada tontonan di depannya, sambil berusaha mengalihkan pikiran dari gadis yang sekarang tengah merangkulnya sambil fokus menonton.

Karina & Ryujin



Karina dan Ryujin, keduanya sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMA. Memang, mereka tidak belajar di sekolah yang sama, namun keduanya berada di bawah naungan agensi model yang sama dan memang sudah terlanjur dididik menjadi rival oleh agensi model milik mereka.

Hubungan antara Ryujin dan Karina tidak seburuk yang dikira orang-orang, keduanya sering beberapa kali mengikuti lomba yang tentunya menempatkan mereka berdua di sisi yang berlawanan.

Karina dengan segala keanggunan yang dimilikinya, kecerdasan yang hampir setara dengan Ryujin membuat orang-orang selalu menatap mereka sebagai dua orang rival yang merebutkan satu kedudukan.

Ryujin yang cekatan dengan nilai-nilai sempurna yang selalu diraihnya, beberapa kali mengalahkan Karina di berbagai kompetisi, didukung sengan wajah sinisnya semakin menguatkan opini orang-orang kalau mereka adalah rival sejati.

Entah apa yang ada di pikiran mereka yang membuat keduanya menjadi sangat dekat hingga memiliki hubungan yang bisa dibilang cukup intens, tanpa meninggalkan sisi mereka yang lain sebagai seorang rival.

Bertarung di meja debat dengan segala opini dan argumen yang dikeluarkan keduanya, dengan segala kecerdasan dan permainan kata yang kadang membuat orang-orang takut, semuanya mengira mungkin saja mereka akan beradu otot saat itu juga dari balik meja debat masing-masing.

Namun kenyataannya tidak, Ryujin dan Karina memang rival, keduanya selalu berlomba-lomba menjadi yang terbaik tapi tidak saling membenci, memang beberapa kali keluar dari mulut keduanya menyatakan kalau saling membenci satu sama lain tapi mereka tau kalau semua itu hanyalah omong kosong belaka, terlebih hubungan yang mereka jalin sudah cukup lama.

Tidak, Karina dan Ryujin tidak diam-diam pacaran seperti apa yang terjadi di novel-novel kebanyakan, keduanya bisa dikatakan tetap menjadi rival karena terus berusaha saling menjatuhkan karena profesionalitas, hanya saja keduanya saling membutuhkan, dalam hal lain.


Suatu hari di tahun 2019 dimana Ryujin dan Karina mengikuti kompetisi modeling, malam harinya mereka berdua ada di rumah karantina yang sama, disitulah awal semuanya terjadi.

Karina akhirnya mengetahui, Ryujin yang terkenal sebagai buaya betina dengan barisan laki-laki yang bersedia kapan saja menjadi kekasihnya untuk menemani dan memberikan afeksi pada gadis itu, akhirnya Karina mengetahui fakta sebenernya kalau Ryujin hanya mempermainkan mereka.

Ryujin Aprilia, perempuan yang memiliki nama belakang sama seperti dirinya itu tidak pernah tertarik sedikitpun pada lelaki. Aneh? Bagi Karina itu tidak aneh sama sekali, karena dirinya pun merasakan hal yang sama seperti Ryujin, hanya saja ia selalu menghindari kontak fisik apalagi hubungan yang melebihi batas dengan laki-laki.

Rahasia ini Karina simpan rapat-rapat, mengetahui bagaimana Ryujin kesulitan membangun reputasi baiknya di hadapan semua orang, dengan tuntutan orang tuanya yang tegas.

Sama halnya dengan Ryujin, Karina juga punya sebuah rahasia yang masih disimpan rapat oleh Ryujin. Tahun kelahiran milik Karina yang tertera di data dirinya, semuanya palsu. Karina Aprilia, perempuan itu memalsukan identitasnya untuk bisa masuk ke Dulcie University dengan kategori mahasiswa baik yang dipandang sempurna oleh orang-orang, walaupun masih tetap berada di bawah Ryujin.

Saat itu keduanya berbincang-bincang, pukul dua dini hari sambil memakan roti yang sudah disediakan oleh pihak agensi, “ternyata lo nggak seburuk yang gue kira” kata Ryujin sambil terkekeh menatap Karina yang ada di dekatnya.

“dan lo juga gak seangkuh yang gue kira” jawab Karina, keduanya tertawa kecil waktu itu.

“mau gue angkuh atau enggak, gak jadi masalah”

“gue tau itu, Miss Perfect, Ryujin Aprilia” ucap Karina.

“nama belakang kita sama” kata Ryujin tiba-tiba, “kalo kita nikah gak ada salah satu dari kita yang perlu ganti nama belakang, 'kan?” tambahnya langsung membuat Karina tersipu karena gombalan aneh yang keluar dari mulut Ryujin.

Disitulah kedekatan keduanya dimulai.

cw // kiss


Lia sampai di rumah Chaery dan seperti biasa ia akan langsung masuk ke dalam rumah, dilihatnya Chaery sedang menonton televisi sambil memakan beberapa snacks yang ada di meja.

Chaery mengalihkan pandangannya dari televisi karena Lia langsung memeluknya, agak sedikit kaget, Chaery langsung memeluk balik dan mengelus punggung temannya itu.

“kangen deh gue sama lu” kata Lia sambil melepaskan pelukan keduanya, ikut memakan jajanan yang ada di meja.

“gue juga” jawab Chaery.

Canggungnya atmosfer dapat dirasakan oleh keduanya, “kenapa awkward banget ya” kata Chaery membuka pembicaraan, tangannya sibuk memainkan ponsel tanpa menoleh ke arah Lia.

“sini dong, gue mau nyender sama lu” kata Lia lalu meraih tangan Chaery untuk merangkulnya.

Keduanya fokus menatap layar televisi sampai akhirnya sepasang kekasih yang ada di layar televisi itu menyatukan bibir mereka, atmosfer canggung kembali dirasakan keduanya.

“lu pernah ciuman gak?” tanya Lia tiba-tiba yang dijawab gelengan oleh Chaery, “enggak, sama sekali belum pernah” jawabnya.

“mau coba?” tanya Lia sambil menolehkan kepalanya ke arah Chaery, jarak mereka kurang dari lima senti meter sekarang, bahkan hidung mancung keduanya hampir bersentuhan.

Perlahan Lia dan Chaery memejamkan mata mereka lalu entah bagaimana, tanpa disadari bibir keduanya sudah bersentuhan.

Lagi-lagi kecanggungan menyelimuti keduanya, “sorry” kata Chaery setelah keduanya menyadari kalau melakukan hal di luar batas.

no, I'm sorry” sanggah Lia.

“Lia ... what if i told you that i really mean it?” tanya Chaery yang langsung membuat Lia gelagapan.

“gapapa... maksud gue, ya... I love you... “ jawab Lia.

not as a friend?” tanya Chaery lagi, yang dijawab gelengan oleh Lia.

“rasanya beda, lagipula temen macem apa yang ciuman”

lesson learned

cw // angst

renjun's point of view

Dulu aku selalu berpikir, kenapa ya? Rasanya hari-hariku seberat itu tanpa Jaemin di sisiku, aku ingat waktu itu, saat pertama kali kami berpisah. Susah rasanya bahkan untuk menerima fakta kalau Jaemin, bukan lagi punyaku.

Aku dicampakkan, entah karena kesalahanku atau keinginannya, dia bahkan tidak pernah menjelaskan sama sekali. Sakit? Tentu saja, berbulan-bulan aku merasakan hari-hariku terasa berat karena harus menyesuaikan diri kalau dia sekarang sudah jauh, bukan milikku lagi.

Aku tau dia adalah orang baik, sangat baik malahan, tapi mungkin Tuhan tidak bisa menjadikan dia yang terbaik untuk aku, begitu juga sebaliknya.

Beberapa temanku berusaha menemaniku, menguatkanku karena mereka tau betapa kesulitannya aku saat itu, mereka bilang aku layak mendapatkan orang lain yang lebih baik dari Jaemin yang sudah mencampakkan aku. Memang, semua orang akan menemukan yang terbaik untuk dirinya dengan waktu masing-masing, tapi tidakkah terlalu jahat untuk menganggap hanya Jaemin yang mencampakkan aku disini?

Semua rasa syukur itu aku rasakan sekarang, berpisah dari orang baik seperti Jaemin awalnya memang sesulit itu, tapi ya, healing takes time dan memang benar adanya karena perlahan semua luka itu sembuh. Sekarang hidupku sudah berjalan normal seperti biasanya.

Aku juga sedang dekat dengan seseorang, dia baik dan kalau boleh aku membandingkannya dengan Jaemin, orang ini sama baiknya hanya saja dia bisa menerimaku kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Ya, Jaemin kemarin tidak bisa menerima kenyataan kalau aku bisa berubah seperti monster hanya karena luapan emosi yang aku keluarkan.

Namanya Haechan, sekarang aku dekat dengannya, dia orang yang sangat periang dan selalu membawa atmosfer yang baik setiap bertemu dengan siapapun. Aku senang, karena Haechan bisa mengerti bagaimana diriku, aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang tanpa masalah di hadapannya.

Haechan bilang padaku, semua orang pasti memiliki sifat buruknya masing-masing, begitulah aku, dia, dan kita semua.

Berpisah dengan Jaemin, memberikan aku pelajaran untuk lebih bisa mengontrol diriku sendiri karena tidak semua orang dapat dengan mudah menerima diri kita, saat kita menunjukkan sifat asli kita.

Pelajaran untuk semuanya juga, sih. Oh ya, doakan agar aku dan Haechan baik-baik saja ya, semoga dia adalah jawaban dari do'aku yang diberikan oleh Tuhan.