car and confession
winrina au
slightly winselle (winter giselle), jenrina (jeno karina)
“Maaf aku gak bisa lanjutin semuanya, aku capek sama kamu”
Kata-kata yang keluar dari mulut Giselle itu terus terngiang-ngiang di kepala Winter, ia tau betul bagaimana mantan kekasihnya itu selalu sabar menghadapi dirinya yang terlalu banyak menuntut ini dan itu.
Sekarang Winter masih berada di dalam mobil Karina, sahabatnya itu masih fokus menyetir sambil sesekali menyenandungkan lagu yang diputar dengan Winter di sebelahnya yang masih menatap ke arah luar mobil, melihat bagaimana rintik hujan membasahi kaca di hadapannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan bagaimana Giselle beberapa jam lalu mengakhiri hubungan keduanya.
Winter dan Giselle sedang tidak baik-baik saja, keduanya terus-terusan bertengkar dan tidak ada salah satu dari mereka yang mau mengalah. Winter akui, dirinya pun lelah menghadapi Giselle dan dirinya sendiri. Keduanya sama-sama salah, memang sudah saatnya hubungan mereka berakhir.
Karina menghentikan mobilnya di parkiran restoran cepat saji paling terkenal itu, “lu tunggu disini deh, gue yang pesen makanan ke dalem nanti kita makan di mobil” kata Karina dan berhasil membuat Winter bertanya-tanya, “kenapa nggak drive thru aja kalo gitu?” tanyanya.
“Udah tunggu aja disini, sepuluh menit” kata Karina lalu mengusap kepala Winter sebelum keluar dari mobilnya.
Entah perasaan macam apa yang dirasakan oleh Winter saat ini, ia benar-benar baru saja putus dari Giselle beberapa jam lalu dan sekarang ia malah tersipu hanya karena Karina mengusap kepalanya sambil tersenyum manis. Winter akui, dulu ia pernah menyimpan rasa pada Karina namun karena beberapa alasan, ia tidak ingin menyatakan perasaannya.
Bayangkan, bila persahabatan yang sudah lama dijalin bisa saja rusak dalam waktu sekejap hanya karena salah satunya menyatakan perasaan. Winter tidak mau hal itu terjadi. Aneh memang, bagaimana bisa Winter menyukai Karina yang jelas-jelas tidak memiliki ketertarikan terhadap perempuan, beda dengan dirinya.
Karina kembali ke mobil saat Winter masih terfokus dengan lamunannya. Diletakkannya kantung makanan itu di atas paha Winter, “gue beli banyak banget buat kita berdua” katanya sambil menyunggingkan senyuman, lagi-lagi mengusap kepala Winter dengan lembut.
“Mau langsung cerita?” tanya Karina sambil mengutak-atik alat pemutar musik yang ada di dalam mobilnya, memutar lagu dari playlist kesukaannya.
Winter hanya menjawab pertanyaan Karina dengan anggukkan kecil, mulai bercerita tentang semua kejadian yang akhir-akhir ini membuat keduanya bertengkar, mulai dari perdebatan kecil hingga puncak kemarahan keduanya beberapa jam lalu. Bukan hanya Giselle yang marah, Winter juga. Memang keduanya sudah terlalu sering saling menyakiti secara langsung ataupun tidak dan berpisah mungkin akan menjadi jalan satu-satunya yang terbaik untuk mereka.
“Sedih, ya?” tanya Karina sambil mengusap pipi sahabatnya yang basah karena air mata di malam itu. Entah kenapa pertanyaan yang diberikan oleh Karina seolah menjadi pengobat lukanya. Memang, sekarang ia terlihat seperti orang yang sedang terpuruk karena baru saja menyelesaikan hubungan dengan sang mantan kekasih, namun entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Karina saat ini, seorang sahabat yang sedang berusaha menghiburnya.
Perlahan Karina mulai menarik badan Winter, memeluknya dengan nyaman. Yang dipeluk hanya memejamkan mata, menerima kehangatan yang disalurkan di tengah malam dengan hujan lebat di luar sana. Karina melepaskan pelukan keduanya, “makan nih, gue beli burger banyak banget” katanya sambil mengeluarkan makanan cepat saji itu dari dalam kantung kertasnya. Winter langsung mengambil burger yang disodorkan oleh Karina dan menyandarkan kepalanya ke bahu Karina.
Malam ini keduanya larut dalam pikiran masing-masing, Karina masih disana menemani Winter yang bersandar di bahunya dengan nyaman. Entah kenapa, ia merasa saat ini seperti waktu yang tepat untuk menyatakan hal yang sudah lama dipendamnya.
“gue dulu pernah suka sama lo” kalimat bodoh itu tiba-tiba saja keluar dari mulut Karina yang justru membuat Winter membeku di bahunya. Tentunya gadis itu terkejut mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya.
Karina, seorang sahabat yang pernah disukainya —dulu, ternyata juga menyukainya. Yang bisa dilakukan Winter saat ini hanya diam, tidak merespon ucapan Karina, ia bahkan tidak paham apa konteks dari 'suka' yang Karina maksudkan. Suka sebagai sahabat, mungkin?
“gue kira dulu lo gak tertarik buat pacaran sama cewek, ternyata lo malah jadian sama Giselle waktu itu” kata Karina yang lagi-lagi membuat Winter terkejut, apa maksudnya? Berarti Karina sudah menyukainya selama itu? Dan konteks pembicaraan mereka tentu saja rasa 'suka' yang lebih dari seorang teman.
“Jangan ngomong aneh-aneh, lo udah punya Jeno sekarang” kata Winter, mencegah Karina untuk mengeluarkan berbagai omongan yang berpotensi membuatnya merasa lebih bingung lagi.
“Seandainya dulu gue berani nyatain perasaan gue, mungkin lo gak akan sakit sama Giselle kaya sekarang” kata Karina, nadanya terdengar serius.
“Ya, kalaupun hal itu kejadian mungkin sekarang kita juga lagi bertengkar atau udah gak kenal karena putus” jawabnya, ia berspekulasi bahwa sebenarnya Karina mengetahui bagaimana perasaannya sebelum bersama Giselle, yaitu menyukainya.
Lancang memang karena Karina tiba-tiba mengeluarkan pernyataan aneh saat keduanya sedang bertemu dengan tujuan untuk menghibur Winter yang baru saja putus. Tujuannya mengatakan itu kepada Winter memang hanya untuk melegakan perasaannya, egois memang. Di suasana seperti ini.
Winter tau dirinya dan Karina memang sudah sangat dekat, terlalu dekat untuk ukuran sepasang sahabat.
“Jangan tinggalin gue, ya” kata Winter pelan, ada ketakutan terdengar dari suaranya malam itu. Karina tahu, sakit pasti ditinggalkan oleh orang yang sudah bersama-sama dengan kita selama hampir satu tahun lamanya.
“Gue sayang sama lo, gue bakal selalu disini” kata Karina, tangannya terjulur untuk mengusap tangan Winter, menyalurkan kehangatan dari tangannya melalui genggaman. Ada rasa sakit di dalam diri keduanya setelah itu, sakit karena mengetahui fakta bahwa mereka memang ditakdirkan hanya untuk menjadi sepasang sahabat yang saling menyayangi, tidak lebih.
Menjadi sahabat mungkin adalah jalan terbaik untuk keduanya, sebesar apapun rasa sayang mereka.