Rumah?
Kyla & Wenny
tw // rape, self harm, blood.
Kyla terbangun dari tidur panjangnya tanpa bergerak sedikit pun dan mendapati ada seseorang bertubuh kekar terduduk di sebelahnya, buru-buru ia mengecek keadaan dirinya dengan panik. Bajunya tidak lagi terkancing dengan rapih, orang itu lagi-lagi melakukan hal kotor kepadanya.
Tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, Kyla hanya menitikkan air matanya dalam keadaan bahu yang bergetar hebat karena menahan isak tangis.
Ayah, orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung, justru menodai dirinya. Sekarang orang itu pergi meninggalkan Kyla tanpa mengeluarkan sepatah kata yang berhasil membuatnya mengeluarkan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi.
Dengan tangan bergetar Kyla meraih ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Yudita, teman dekatnya. Ia tidak sanggup berlama-lama di rumah ini setelah mengetahui apa yang terjadi. Rumah ini bahkan sama sekali tidak layak untuk disebut sebagai rumah.
Buru-buru Kyla masuk ke dalam kamar mandi, melihat pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu begitu berantakan, dengan mata sembab dan baju yang sudah kusut, “Kenapa harus gue? Kenapa gue harus bertahan di sini?” tanya Kyla pada bayangannya sendiri, tangisan lagi-lagi menyelimutinta.
Perlahan Kyla membuka baju dan meninggalkan bra yang masih menempel di tubuhnya, diraihnya lagi gunting di dekat cermin itu lalu perlahan menyayat kulit lengan bagian atasnya. Sakit, itulah yang dirasakan oleh Kyla, namun rasa sakit itulah yang berhasil membuatnya bertahan hingga sejauh ini.
Kyla langsung mengelap beberapa tetes darah yang keluar dari lengannya sampai bersih, meninggalkan bekas dari beberapa sayatan yang dibuatnya. Gadis itu langsung memakai kemeja baru yang diambilnya tadi sebelum masuk ke dalam kamar mandi dan bergegas untuk pergi ke rumah Yudita.
Sesampainya di rumah Yudita, gadis bertubuh tinggi itu langsung menggulung lengan bajunya, Kyla tahu ini memang kebiasaannya untuk mengecek apakah ada luka sayatan baru yang dibuat oleh Kyla. Miris memang, namun itu adalah tanda kalau Yudita peduli padanya, walaupun atas permintaan dari Wenny, kekasihnya.
Wenny tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Yudita yang pintunya sudah terbuka lebar-lebar, “Kyla ada di kamar gue, barusan udah gue cek dan gak ada luka baru, ” kata Yudita dengan santai yang tidak mendapatkan jawaban dari Wenny yang langsung buru-buru masuk ke dalam kamar Yudita.
Ia memang tidak bisa meninggalkan Kyla sendirian karena tidak mau terjadi hal apapun yang tidak diinginkannya.
“Kyla ...” panggil Wenny saat pintu kamar Yudita terbuka dibukanya, ia mendapati Kyla sedang berbaring di atas ranjang milik Yudita dengan pandangan kosong ke arah langit-langit kamar.
Wenny langsung duduk di sisi kosong ranjang, “Ada apa di rumah? Kamu gapapa, 'kan?” tanyanya dengan nada yang berusaha dibuat tenang walaupun rasa panik itu jelas terpancar di matanya.
Kyla menggeleng, “Tanganku sakit,” jawabnya.
Tidak bisa dibohongi dari tatapannya, Wenny sangat khawatir setelah mendengar jawaban dari Kyla. Buru-buru ia meraih bahu Kyla dan menyibakkan kemeja yang dikenakan oleh gadis itu hingga menampakkan bahu dan lemgan bagian atasnya. Ada bekas luka baru yang masih basah, Wenny dapat melihat bagaimana kulit itu tergores oleh luka yang cukup dalam.
“Kyla ...” lirihnya, benar-benar tidak tau harus mengatakan apa lagi. Sakit rasanya melihat orang yang disayanginya sekacau ini.
“Maaf, cuma ini yang bisa bikin aku tenang tadi,” kata Kyla yang langsung menitikkan air matanya.
“Gapapa, sayang. Aku bantu obatin, ya?” tanya Wenny dengan mata berkaca-kaca, ia benar-benar ingin berteriak saat ini juga karena melihat keadaan Kyla. Wenny tahu betul apa yang mungkin terjadi di rumah Kyla sebelum gadir itu datang ke sini, namun ia bahkan tidak sanggup menanyakan hal itu.
Wenny beranjak dari duduknya namun dicegah oleh Kyla, “Gak usah, nanti sembuh sendiri,” ucapnya.
“Kenapa kamu kaya gitu lagi?” tanyanya kesal, napas Wenny bahkan mulai tidak teratur. Berkali-kali sudah ia memberi tahu Kyla untuk segera menelponnya kalau memerlukan teman untuk bicara atau sekedar menenangkan.
“Karena aku gak tau harus apa,” jawab Kyla pelan, sebenarnya ia takut Wenny akan meledak saat ini juga namun ia sendiri pun terlalu lelah menghadapi semuanya.
“Aku udah bilang ke kamu, jangan gitu lagi.” Katanya.
“Berisik, aku kaya gini buat ngelupain sakitnya, seenggaknya aku gak kepikiran tentang itu lagi,” bentak Kyla, suaranya mulai bergetar karena tangisannya lagi-lagi menguasai emosi gadis itu.
“Gitu? Dengan cara kamu lukain diri kamu sendiri, itu gak sakit?” tanya Wenny sinis, matanya berkaca-kaca menatap kekasihnya namun dirinya benar-benar dikuasai oleh emosi saat ini.
“Aku gak bakal nyakitin diriku sendiri kalo ada kamu, tapi kamu sibuk sama urusan kamu.” kata Kyla yang mulai menangis. Wenny langsung menatap Kyla yang sedang menangis, emosinya seolah akan meledak saat itu juga.
“Terus kamu mau aku ngapain biar kamu gak kaya gitu? Aku harus dua puluh empat jam ada di sebelah kamu? Iya?” tanya Wenny, nada bicaranya sudah mulai meninggi.
“Gak perlu, aku tau kamu sibuk dan aku gak akan pernah jadi prioritas kamu,” jawab Kyla ketus.
“Maksud kamu apa?” tanyanya.
“Iya, kamu merasa gak kalo aku selalu jadiin kamu prioritas? Bahkan di atas diriku sendiri.”
Wenny tak bergeming, memang benar Kyla selalu menomor-satukan dirinya dari, bahkan disaat genting pun. Kyla selalu menjadi orang yang memberikan semuanya dengan tulus, menyayangi dan memperlakukan Wenny seolah tidak ada orang lain yang lebih penting selain dirinya.
Semua Kyla lakukan karena ia merasa hanya memiliki Wenny di hidupnya, hanya Wenny yang bisa menjadi rumah baginya, menjadi tempat berlindungnya. Kadang Kyla terlalu egois karena menginginkan Wenny untuk selalu bersamanya, terlebih akhir-akhir ini dirinya terus disibukkan oleh beberapa hal.
“Kyla, kamu tau sendiri gimana sibuknya aku di kampus, aku juga mumet, aku juga bisa stress,” jawab Wenny. Perempuan itu langsung mengacak-acak rambutnya kesal.
Wenny bahkan kadang tidak habis pikir dengan tingkah kekanakan Kyla yang selalu menuntutnya ini dan itu. Memang, Wenny sangat menyayangi Kyla, tapi kehidupannya juga tidak melulu tentang gadis itu. Terlebih, Wenny juga memiliki keadaan yang mirip seperti Kyla dengan kondisinya kurang stabil.
Kali ini, Wenny benar-benar lelah menghadapi Kyla.