dracorion

Bahkan kata pulang saja seperti tidak layak digunakan untuk datang ke tempat ini.


tw // violence, homophobia.


Rendra sampai di rumahnya setelah buru-buru pergi meninggalkan rumah Cakra. Malam itu ia sampai di rumahnya, yang seperti biasa terdengar suara ribut yang tidak disukainya setiap ayahnya pulang ke rumah.

“Udah teriak-teriaknya? Gak malu suara kedengeran sampe ke rumah tetangga?” tanya Rendra dengan nada yang ditinggikan setelah melihat bagaimana kacaunya keadaan ruang tamu setelah memasuki rumah.

Ayahnya yang melihat Rendra datang dan langsung membentak itu langsung menghampiri Rendra, ditariknya kerah baju anak semata wayangnya itu.

“Puas kamu mempermalukan keluarga kita?” tanyanya, wajahnya didekatkan dengan wajah Rendra, berjarak sekitar 5 cm. Rendra mengerutkan alisnya bingung, ia langsung mengalihkan pandangannya ke ibunya.

“Maaf Rendra, Mama gak seharusnya bilang ke Papa tentang itu.” Katanya dengan air mata yang deras mengalir ke pipinya. Dengan santai Rendra menggapai tangan ayahnya, “kalau aku mempermalukan keluarga, Papa apa?” tanyanya dengan nada remeh.

“Lebih baik kamu mati, daripada saya harus punya anak seorang gay.” Katanya dan detik itu juga Rendra habis dipukuli oleh ayahnya sendiri.


Sambil menangis sesenggukan, ibunya mengompres dan membersihkan luka-luka yang ada di tubuh Rendra.

“Maafin Mama.” katanya, entah sudah yang keberapa kali.

“Ma, udah, ya?” jawab Rendra lalu menggenggam tangan ibunya.

Hal-hal seperti dipukuli dan dibentak seperti ini sudah biasa dialaminya, sejak kecil setiap ayahnya pulang ke rumah tidak jarang yang diterima oleh Rendra adalah pukulan dan bentakkan, hanya saja kali ini ibunya menyaksikan sendiri bagaimana Rendra hampir mati di tangan ayahnya.

Kalau saja Julian dan Johan tidak datang untuk menyusul Rendra, ia mungkin sudah mati di tangan ayahnya sendiri.

“Julian, Johan, thanks ya udah bantuin gue,” kata Rendra sambil kesusahan berbicara karena lebam di sekitar wajahnya.

Julian dan Johan hanya menganggukkan kepala. Johan terlihat masih terkejut, seolah menyadari betapa kacaunya Rendra tanpa orang-orang di sekitar selain keluarganya, ada sedikit penyesalan di dirinya karena sudah merasa cemburu pada Rendra.

Julian dan Johan berhasil membuat ayah Rendra berhenti memukuli anaknya sendiri dan sekarang laki-laki tua itu entah berada dimana setelah menerima bentakkan dari Julian karena menyakiti anaknya sendiri.

“lebih baik jadi gay daripada jadi pecundang tempramental yang taunya cuma mukulin anaknya sendiri” kira-kira begitulah kata-kata yang dikeluarkan olehnya tadi.

Keadaan ruang tamu di rumah Rendra masih kacau, tidak ada serpihan kaca dari gelas atau piring namun kali ini beberapa bingkai foto keluarganya yang dibanting oleh sang ayah.

Bagi Rendra, memang benar-benar tidak ada tempat yang bernama rumah di dunia ini untuknya. Bahkan kata pulang saja seperti tidak layak digunakan untuk datang ke tempat ini.

Rendra merasa kali ini benar-benar kacau dan seharusnya Julian tidak datang menyelamatkannya.

seharusnya kita gak pernah kenal sama sekali.


Harsa memang memberikan banyak pengaruh terhadap kehidupan Rendra. Semenjak Harsa datang, rasanya hidup Rendra lebih baik karena ia bisa mendapatkan alasannya untuk bangun dan tersenyum setiap harinya.

Mengenal Harsa bisa menjadi keberuntungan terbesar di hidup Rendra. Tapi setelah apa yang terjadi sekarang, seharusnya memang mereka tidak pernah bertemu sama sekali.

Kalau saja, Rendra dan Harsa tidak pernah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, mereka tidak akan sejauh ini sekarang.

Dulu, rasanya mereka sedekat nadi, mengetahui satu sama lain secara detail. Sekarang, semuanya terasa jauh, bahkan untuk menyapa Harsa saja rasanya Rendra tidak berani.

Seharusnya mereka tidak pernah memulai apapun sejak awal sehingga tidak ada yang perlu diselesaikan seperti sekarang.

Harsa terlalu sulit untuk dilupakan.

Bodohnya Rendra berharap kalau Harsa masih menyayanginya seperti dulu, padahal semuanya sudah berubah.

Membahas kebahagiaan, tentang semalam, Rendra mendapatkan mimpi terindah yang menyakitkan.

hanya tentang curahan hati Rendra

Kira-kira apa ya yang bisa mendeskripsikan kekacauan kali ini? Sulit? Penyesalan?

Tadi malam, mimpi itu datang lagi. Mimpi tentang orang yang aku sayangi, Harsa.

Mimpi itu tidak buruk, sama sekali tidak, tapi aku menangis ketika terbangun dari tidur singkatku.

Di dalam minpiku, Harsa tertawa riang seperti saat dulu kita masih bersama, ia menggenggam tanganku dan berlarian sambil terus menatapku dengan mata indahnya.

Mimpi yang indah, bukan? Tapi yang aku rasakan adalah rasa sakit. Dadaku sakit, air mataku jatuh, sulit rasanya bahkan hanya untuk bernafas saja ketika mendapatkan mimpi itu.

Bukan hanya sekali atau dua kali, mimpi itu datang. Mimpi yang seharusnya bisa aku rasakan sebagai mimpi indah, malah menjadi mimpi yang rasanya seperti menghantuiku.

Orang itu Harsa, orang yang pernah menjadi sumber kebahagiaan untukku, bahkan hingga saat ini.

Rasanya terlalu cepat untukku, melepaskan orang yang paling aku sayangi, tapi apa yang bisa aku lakukan selain melepaskannya? Toh, orang yang menjadi sumber bahagiaku ini malah selalu merasa terbebani ketika bersamaku.

Sulit untuk melupakannya, orang terbaik yang pernah aku temui. Orang paling indah, orang yang menjadi alasan atas segala emosi yang aku rasakan mulai dari senang, sedih, hingga amarahku.

Sekarang, yang aku rasakan hanyalah sakit, karena melihat tawa dan senyumnya yang ceria itu. Dulu tawa itu selalu dikeluarkannya saat kita bercanda, senyum itu diberikan padaku saat kita bersama.

Aku belum sembuh, bahagia itu baru saja pergi dari hidupku. Mungkin, ia akan kembali lagi atau bahkan ada bahagiaku yang lain akan datang untuk mengobati, membantuku untuk sembuh.

Bagaimana dengan Harsa? Entah, mungkin ia benar-benar sudah sembuh atau hanya berpura-pura kalau dirinya sedang baik-baik saja. Aku tidak tau apapun, tapi yang aku harapkan adalah kebahagiaan selalu bersamanya. Orang yang paling aku sayangi harus selalu bahagia.

Setiap mimpi itu datang lagi, yang aku rasakan benar-benar rasa sakit karena mengetahui fakta kalau Harsa, bukan lagi bahagia yang dulu menjadi alasanku tersenyum.

Sepertinya Tuhan memang sedang mengingatkan aku untuk menjaga semua kebahagiaan yang masih aku miliki.

Dan, mimpi itu akan selalu menjadi mimpi terindah yang menyakitkan.

Tuhan, kalau nanti aku bertemu dengan bahagiaku lagi, jangan ambil bahagiaku terlalu cepat, ya?


Aku akan tetap disini, sebagai apapun selagi aku masih ada di dunia ini.

Aku Rendra yang akan selalu ada untuk Harsa, kapanpun.

Pesanku untuk Harsa, tetaplah bahagia tanpa aku, kamu mungkin menemukan bahagiamu yang baru dan sama sekali tidak membutuhkanku, tapi kalau hal yang tidak pernah ada di pikiranmu terjadi, kalau suatu saat kamu perlu tempat untuk beristirahat, aku akan selalu disini.

Mungkin sekarang atau nanti, akan ada orang yang menggantikan posisiku dulu. Mungkin untuk sekarang, keikhlasan itu belum ada bersamaku karena masih terasa sakit melihat kamu berhasil tertawa karena orang lain menghiburmu.

Tapi, kamu adalah alasanku masih bertahan, jadi kamu harus bahagia.

Harsa, bahagiaku yang harus bahagia dengan cara apapun. Aku berharap kamu selalu mendapatkan yang terbaik.

namanya masih selalu terngiang-ngiang di kepala, senyum manis dan tawa riangnya, ia rindu.


Harsa, nama itulah yang saat ini selalu ada di pikirannya, rasanya baru kemarin setiap nama itu disebut, rasanya seperti ada kupu-kupu di perutnya.

Pemilik nama itu berhasil membuat Rendra jatuh ke pelukannya, Rendra yang sekeras batu, sangat sulit untuk membuka hatinya untuk siapapun dan Harsa berhasil memilikinya.

Harsa bagaikan rumah dan juga obat untuknya, laki-laki itu datang dan membantu Rendra untuk bangkit. Mungkin benar, kalau Harsa tidak pernah hadir di hidupnya, Rendra sudah tidak ada di dunia ini.

Memang, sebelum Harsa datang di hidupnya, Rendra tidak sehancur sekarang namun ia benar-benar kosong. Kesehariannya menghadapi Ayah yang sering memukulinya, Ibunya yang jarang pulang ke rumah karena kesibukannya di kantor.

Sebelum mengenal Harsa, Rendra benar-benar sendirian dan tidak punya tempat untuk mencurahkan bagaimana isi hatinya. Sejak kecil juga Rendra sudah menormalisasi hal-hal yang bisa menyakiti dirinya, terbiasa melihat orang tuanya memarahi hingga memukulinya juga membuat Rendra menjadi sulit dalam mengontrol emosinya, dengan mudah amarahnya bisa memuncak, tangisnya pecah, tawanya meledak.

Rendra adalah anak tunggal di keluarga kecilnya, dilahirkan dari rahim seseorang yang sebenarnya belum siap untuk memiliki anak membuatnya menjadi korban atas ego orang tuanya. Sering kali Rendra berpikir, seharusnya ia tidak pernah dilahirkan, karena untuk apa ia dilahirkan hanya untuk menjadi pelampiasan amarah bagi orang tuanya?

Hidup dengan fasilitas lengkap tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Rendra selalu dikelilingi uang dan fasilitas yang lengkap, sejak kecil orang tuanya sibuk bekerja dan meninggalkan Rendra bersama suster dan asisten rumah tangganya. Setiap pulang ke rumah dan melihat kesalahan kecil yang diperbuat oleh Rendra, ayahnya selalu marah. Bukan, Rendra tidak pernah melawan ayahnya sama sekali namun laki-laki paruh baya itu selalu menganggap kalau Rendra melawannya, diakibatkan dari nada bicara yang digunakan Rendra. Tanpa sadar, sebenarnya semua sikap Rendra adalah turunan dari ayahnya sendiri.

Setiap hari, Rendra bangun dengan keadaan rumah yang sudah kosong, ayah dan ibunya yang sudah berangkat untuk bekerja, hanya ada ART yang selalu menemaninya di rumah. Betapa kosong dan tidak berwarna hidup Rendra, tapi entah kenapa ia bertahan sampai sejauh ini.

Sampai sini, mungkin bisa disimpulkan betapa berubahnya kehidupan kacau Rendra semenjak Harsa datang ke kehidupannya. Harsa yang periang itu datang membawa semua kebahagiaan, mengenalkan Rendra pada orang-orang baru yang sangat baik, membuat Rendra merasa spesial dan lebih kuat lagi untuk bertahan. Harsa benar-benar menjadi sumber kebahagiaan dan alasan Rendra untuk bertahan. Rendra sangat menyayangi Harsa.

Rumah, itulah satu kata yang bisa mendeskripsikan bagaimana Rendra menganggap Harsa. Lebih dari seorang kekasih ataupun teman, Harsa adalah segalanya untuk Rendra, tempatnya untuk pulang. Sekarang, rumah itu tidak lagi menjadi miliknya.

Rindu. Rendra merindukan semuanya dari Harsa. Wajah tampan yang dilihatnya hampir setiap hari, tawa riangnya yang setiap hari didengar Rendra yang sekarang mungkin akan sulit didengarnya lagi, namun sekarang namanya masih selalu terngiang-ngiang di kepala, senyum manis dan tawa riangnya. Ia rindu.

rasanya sakit, tapi bukan di tangannya yang penuh luka itu.

tw// self harm, injury

Julian masuk ke kamarnya melihat bagaimana keadaan Rendra. Semuanya aneh, Rendra sama sekali tidak menangis namun pandangannya kosong.

“Ren ... ” panggil Julian yang sama sekali tidak digubris oleh Rendra.

“Ren, obatin tangan lu ya?” tanyanya pelan, di tangannya sudah ada peralatan yang biasa ia gunakan untuk membantu Rendra mengobati lukanya dan memang Julian sudah sangat terbiasa menangani Rendra yang seperti ini kalau Harsa sedang tidak bersama Rendra.

Perlahan Julian mengangkat lengan baju Rendra, terlihat beberapa goresan yang masih baru di atas kulitnya. Julian menggertakkan giginya ngilu melihat luka di lengan Rendra, temannya ini benar-benar perlu pengawasan lebih.

Sambil Julian membersihkan dan mengobati luka di tangannya, Rendra masih terdiam memikirkan Harsa. Ia masih tidak menyangka hal ini benar-benar terjadi, Harsa yang benar-benar sudah lelah menghadapinya, meninggalkannya di titik terendah Rendra.

Kenapa Harsa harus meninggalkannya saat ia merasakan rasa sulit ini? Kemana janji Harsa tentang dirinya yang akan terus bersama Rendra? Apakah ia seburuk itu untuk dipertahankan?

Harsa pasti sudah sangat lelah, ditambah ia pasti kecewa dengan Rendra yang dengan beraninya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Rendra memang sangat buruk dalam urusan mengontrol dirinya sendiri.

Rendra merasa sangat bersalah saat ini, seharusnya ia tidak tersulut emosi saat menghadapi Harsa. Sekarang, orang yang paling disayanginya sudah pergi. Apa yang harus Rendra lakukan untuk membuat Harsa kembali?

Rapuh, itu sepertinya hal yang cocok untuk mendeskripsikan bagaimana Rendra sekarang yang bahkan untuk menangis saja, ia sama sekali tidak sanggup. Dirinya seperti mati rasa, bahkan disaat Julian menekan lukanya dengan obat-obatan itu.

Rasanya sakit, tapi bukan di lengannya yang penuh luka itu, namun di relung hatinya. Bahkan Rendra tidak tau hal apa yang bisa membuatnya bangkit lagi setelah ini karena Harsa adalah satu-satunya hal yang ia miliki.

Harsa pernah bilang, Rendra adalah orang baik ... orang baik macam apa yang mengecewakan orang yang disayanginya?

Rendra dan Harsa


tw // mentioning depression, self harm, blood, unusual temper peak.


Harsa tergesa-gesa masuk ke dalam rumah Julian yang pintunya sudah terbuka lebar-lebar, “Rendra di kamar gue, katanya mau numpang tidur,” kata Julian santai. Cepat-cepat Harsa lari ke kamar Julian, ia tidak bisa meninggalkan Rendra sendirian karena tidak mau terjadi apapun yang tidak diinginkannya.

“Rendra” panggilnya saat pintu kamar Julian terbuka lebar, terlihat Rendra terbaring di atas ranjang milik Julian dengan pandangan kosong ke arah langit-langit kamar. Harsa langsung duduk di sisi kosong ranjang, “kepala kamu masih sakit?” tanyanya.

Rendra menggeleng, “yang sakit tanganku.” Katanya.

Tidak bisa dibohongi dari tatapannya, Harsa sangat khawatir setelah mendengar jawaban Rendra. Buru-buru ia meraih lengan Rendra, tidak ditemukannya ada bekas luka baru di tangan itu namun pikirannya tidak berhenti disana, perlahan diangkatnya lengan baju Rendra dan disanalah Harsa dapat melihat beberapa goresan luka baru yang cukup dalam.

“Ren ...” lirihnya, benar-benar tidak tau harus mengatakan apa lagi. Sakit rasanya melihat orang yang disayanginya sekacau ini.

“Maaf.” Kata Rendra yang langsung menitikkan air matanya.

“Gapapa, aku bantu obatin ya,” kata Harsa dengan mata berkaca-kaca, ia benar-benar ingin berteriak saat ini juga karena melihat keadaan Rendra. Harsa beranjak dari duduknya namun dicegah oleh Rendra.

“Gak usah, nanti sembuh sendiri.” Ucap Rendra.

“Kenapa kamu kaya gitu lagi?” tanyanya kesal, napas Harsa bahkan mulai tidak teratur. Memang benar kata Julian, keduanya tidak baik bersama-sama terlalu lama.

“Karena aku gak tau harus apa,” jawab Rendra pelan, sebenarnya ia takut Harsa akan meledak saat ini juga namun ia sendiri terlalu lelah, “aku udah bilang ke kamu, jangan gitu lagi.” Katanya.

“Berisik. Aku kaya gini buat ngelupain sakitnya, seenggaknya aku gak kepikiran yang aneh-aneh.” Ucap Rendra.

“Gitu? dengan kamu lukain diri kamu sendiri, itu gak sakit?” tanya Harsa sinis, matanya berkaca-kaca namun dirinya benar-benar dikuasai oleh emosi saat ini, “aku gak bakal nyakitin diriku sendiri kalo ada kamu disini.” Kata Rendra dengan suara yang bergetar karena dirinya mulai menangis.

Harsa langsung menatap Rendra, seolah akan meledak saat itu juga, “terus aku harus apa biar kamu gak kaya gitu? aku harus 24 jam ada di sebelah kamu?” tanyanya, nada bicaranya sudah mulai meninggi.

“Gak perlu, aku tau kamu sibuk dan aku gak akan pernah jadi prioritas kamu.” Jawab Rendra ketus yang membuat Harsa menatapnya bingung, “maksud kamu gimana?” tanyanya.

“Iya, kamu merasa gak kalo aku selalu jadiin kamu prioritas? Bahkan di atas diriku sendiri.”

Harsa diam, memang benar Rendra selalu menomorsatukan Harsa dari segalanya, bahkan di saat-saat genting pun. Rendra selalu menjadi orang yang memberikan semuanya dengan tulus, menyayangi dan memperlakukan Harsa seolah tidak ada orang lain yang lebih penting daripada Harsa.

Semua Rendra lakukan karena ia merasa hanya memiliki Harsa, hanya Harsa yang bisa menjadi rumah baginya, menjadi tempat berlindungnya. Kadang Rendra terlalu egois menginginkan Harsa selalu bersamanya, terlebih akhir-akhir ini Harsa sibuk.

“Rendra, kamu tau sendiri gimana sibuknya aku di kampus, aku jalan-jalan juga buat refreshing, aku mumet juga, aku juga bisa stress.” Jawab Harsa. Laki-laki itu langsung mengacak-acak rambutnya kesal.

Harsa kadang tidak habis pikir dengan tingkah kekanak-kanakan Rendra yang selalu menuntutnya ini itu. Memang, Harsa sangat menyayangi Rendra, tapi kehidupannya juga tidak melulu tentang Rendra.

Terlebih Harsa juga memiliki keadaan yang mirip seperti Rendra dengan kondisi mental yang kurang stabil.

Kali ini, Harsa benar-benar lelah menghadapi Rendra.

Rendra dan Harsa


tw // mentioning suicidal, self harm.


“Hari ini Ayah sama Bundaku pulang, kamu mau nginep lagi?” tanya Harsa yang melihat Rendra baru keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut yang basah.

“Mungkin iya, emang kenapa kalo ada ayah kamu?” tanya Rendra sambil mengerutkan alisnya, bingung.

“Takutnya kamu gak nyaman, mungkin ayah bakal ribut atau banyak ngajak aku ngobrol jadi nanti aku gak punya banyak waktu buat kamu,” jawabnya yang hanya dibalas oleh Rendra dengan, “aku gapapa,” kata Rendra, sekarang ia sedang menatap tangannya yang memiliki banyak goresan luka hasil perbuatannya sendiri.

Harsa yang melihat tangan Rendra hanya menggelengkan kepalanya, “Rendra ...” panggilnya. Rendra langsung menolehkan kepalanya menatap Harsa, “kenapa?” tanyanya.

“Jangan sakitin diri kamu lagi, aku sedih liat kamu kaya gitu,” kata Harsa, benar-benar memberikan Rendra tatapan sendu, terlihat dengan jelas di matanya ada rasa khawatir terpancar. Rendra menatap sinis Harsa, “kamu sendiri juga sering nyakitin diri sendiri.” Jawab Rendra acuh.

“Aku udah lama gak pernah lagi, sekarang giliran kamu yang harus berusaha.” kata Harsa sambil berusaha menggenggam tangan Rendra yang ada di hadapannya.

Rendra tertawa sinis, “kamu pikir selama ini aku gak berusaha?” tanyanya, Harsa tau itu bukanlah pertanyaan yang perlu dijawab, “aku tau kamu berusaha, kamu hebat udah bisa bertahan sampai sekarang, aku bangga sama kamu, tapi tolong ya, sayang ... kamu kurangin hal yang bisa nyakitin diri kamu sendiri,” kata Harsa dengan nada lirih.

Kalau boleh jujur, dirinya pun lelah harus selalu membujuk Rendra agar tidak menyakiti diri sendiri. Rendra selalu mencari cara untuk menyakiti dirinya.

“Gak sekali dua kali juga kamu pernah nyoba buat bunuh diri,” kata Rendra yang langsung membuat Harsa kaget, ia tidak menyangka kata-kata seperti itu keluar dari mulut Rendra, “maksud kamu?” tanya Harsa, tatapannya kesal namun bingung, masih berusaha menahan dirinya karena ia tau Rendra sedang tidak stabil saat ini.

“Ya kamu selalu minta aku untuk gak nyakitin diri sendiri, tapi kamu sendiri gimana?” tanya Rendra dengan nada yang mulai meninggi, sangat terasa kalau emosinya sudah mulai memuncak.

Harsa menghela napas berat, “stop pembahasan kaya gini, yang aku minta sekarang kamu berhenti buat sakitin diri sendiri.” Katanya langsung memalingkan pandangannya dan duduk di ujung kasur, “kamu udah males ya ngeladenin aku yang kaya gini?” tanya Rendra, tatapannya sedikit terlihat seperti sedang marah.

“Enggak juga,” jawab Harsa, “enggak juga, berarti iya,” kata Rendra yang langsung mendekati Harsa.

Rendra benar-benar merasa seperti menjadi beban bagi banyak orang, bagi orang tua, teman-teman, bahkan untuk orang yang paling disayanginya.

Kadang Rendra sendiri bingung apa yang sebenarnya ada di pikirannya, kenapa ia selalu berpura-pura kuat menghadapi masalahnya padahal yang ia lakukan di belakang semua orang adalah menyakiti diri sendiri.

Hanya Harsa yang tau semua masalah Rendra secara mendetail, karena hanya Harsa yang bisa ia percaya, setidaknya untuk saat ini.

“Maafin aku selalu ngerepotin kamu, kamu pasti capek.” Kata Rendra lalu menundukkan kepalanya, rasanya ia ingin menangis saat itu juga namun ditahannya, sudah terlalu sering ia menangis di hadapan Harsa.

It's okay, aku ngerti kamu juga udah berusaha ...” kata Harsa lalu meraih bahu Rendra untuk ditariknya laki-laki itu ke dalam pelukan Harsa.

“Jangan pergi ya ... aku gak tau gimana nanti kalo gak ada kamu,” ucap Rendra sambil merasakan hangatnya pelukan Harsa. Tidak ada jawaban dari Harsa, yang ia lakukan hanya mengeratkan pelukannya kepada Rendra.

Pagi itu, lagi-lagi Rendra menangis di pelukannya.

Rendra & Harsa


tw // mentioning death, suicidal, self harm, blood.


Sesampainya Harsa di rumah Rendra, ia bisa langsung melihat bagaimana kacaunya keadaan rumah Rendra dengan banyaknya pecahan beling yang berserakan di ruang tamunya dan beberapa barang yang sudah berjatuhan tidak lagi berada di tempat semula.

Cepat-cepat Harsa langsung naik ke lantai dua menuju kamar Rendra, “kamu gapapa?” tanyanya saat melihat keadaan Rendra yang cukup kacau, masih dengan baju kaos polosnya yang terkena sedikit cipratan darah.

Harsa sudah tau, pacarnya itu pasti lagi-lagi melukai dirinya sendiri. Ia langsung memeluk Rendra, “aku gapapa,” jawab Rendra yang tidak seperti biasanya, sama sekali tidak ada isak tangis atau napas yang terasa tidak beraturan namun pandangannya kosong. Harsa tau, sebentar lagi Rendra akan meledak.

“Ayo kita ke rumahku sekarang, kamu mau cuci tangan dulu?” tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaan Harsa, Rendra langsung mengambil beberapa lembar tissue untuk menutupi luka yang ada di tangannya.

“Gak usah, darahnya gak banyak,” jawab Rendra langsung beranjak dari duduknya, “ayo kita ke rumah kamu.” Kata Rendra.


“Kamu tadi keluar sama siapa aja?” tanya Rendra, bajunya sudah diganti dengan baju yang sudah disiapkan Harsa tadi setelah mereka sampai.

“Aku keluar sama Johan,” jawabnya yang langsung mendpat tatapan bingung dari Rendra, “ngapain?” tanya Rendra lagi, nadanya terdengar berbeda dari biasanya.

“Main aja, kaya biasanya,” jawab Harsa lalu menempatkan diri duduk di sebelah Rendra.

Rendra langsung mendekatkan badannya ke Harsa, memeluknya dengan wajah murung. Harsa tau Rendra sangat membutuhkannya di saat seperti ini, Harsa tau kok, pacarnya ini sebenarnya adalah orang yang kuat, hanya saja kadangkala manusia memiliki batas kekuatan yang berbeda.

Harsa langsung mengelus kepala Rendra, mencoba memberikan ketenangan untuk Rendra sampai akhirnya laki-laki itu menangis dengan suara isakan yang sangat pelan, seperti ditahan.

“Jangan ditahan nangisnya, keluarin aja biar kamu lega.” Kata Harsa yang membuat air mata Rendra makin deras turun ke pipinya bahkan sudah membasahi dada Harsa.

Rendra terus menangis sesenggukan dengan posisi tangan masih meremas bajunya sendiri. Harsa masih disana, tidak berusaha menenangkan namun memberikan energi, menguatkan Rendra dengan cara lain.

“Makasih Harsa” kata Rendra lalu mengelap air mata di wajahnya.

Harsa tersenyum melihat bagaimana berantakan pacarnya malam itu, ia sangat menyayangi Rendra, “Sama-sama, sayang. Udah ya sedihnya?”

Rendra mengangguk sambil tersenyum, “aku gak tau bakalan gimana, kalo gak ada kamu mungkin aku udah mati sekarang,” katanya. Harsa tau, keadaan Rendra sedang tidak baik-baik saja, mungkin ia bisa menegur Rendra lain kali atas perkataan yang keluar barusan, yang cukup sensitif dan justru membuat Harsa takut.

Harsa senang mengetahui Rendra menganggapnya sebagai rumah, namun ia takut Rendra akan semakin kacau kalau nanti ia tak ada di sampingnya.

conclusion


Sebenarnya bagaimana sih, konsep dari happy ending itu sendiri? Kedua peran utama yang berujung bersama atau kedua peran utama yang bisa hidup bahagia dengan pilihannya masing-masing?

Memang, kadang jalan cerita yang dilalui tidak bisa seindah ekspektasi yang kita miliki, tapi setidaknya kita sudah prnah berusaha kan?

Di cerita ini mungkin Ryujin dan Lia tidak bisa bersama sebagai pasangan, namun sekarang keduanya sama-sama bahagia dengan jalan masing-masing.

Ryujin bisa lebih bahagia dengan Hyuck, kekasih yang disayanginya dan Lia bisa menyadari kasih sayang yang diberikan oleh para sahabatnya, terutama Chaery.

Mungkin awalnya kita berpikir, kenapa ya takdir buruk dan tidak berpihak pada kita? padahal sebenarnya semuanya mungkin sudah diatur, hanya saja tidak sesuai dengan ekspektasi yang kita bayangkan.

Tidak selamanya hal yang tidak sesuai dengan ekspektasi kita itu buruk. Oh iya, semuanya belum berakhir disini, sekarang mungkin mereka gak bersama tapi gak ada yang pernah tau gimana jalan kedepannya, 'kan?


Terimakasih sudah meluangkan waktu kalian untuk mengikuti dan membaca girlfriend rent sampai di akhir cerita. Maaf kalau ada banyak kata-kata ku yang mungkin kurang baik. Sampai ketemu di AU selanjutnya ya!

a little side story from Chaery


Selama ini gue selalu berperan sebagai pengamat, gue mengamati semua orang yang gue sayang.

Lia adalah salah satu orang yang gue sayang, entah perasaan apa yang gue rasain tapi Lia spesial. Gue sayang sama Lia mungkin lebih daripada sayang gue ke Yeji atau Yuna.

Selama ini gue tau, Lia selalu ambis sama semua tugas kampus dan jarang punya waktu lebih untuk istirahat dan itu kadang-kadang bisa bikin gue khawatir berlebihan ke dia, tapi mungkin cara gue untuk nunjukin kekhawatiran gue malah bikin dia salah sangka dan ngiranya gue salty ke dia.

Sekarang gue liat sendiri pake mata kepala gue, orang yang paling gue sayang malah nangisin orang lain yang sama sekali gak mikirin dia. Ternyata, rasanya agak sakit liat dia sesedih itu.

Mungkin emang sekarang saat yang tepat untuk nge-treat orang yang gue sayang dengan cara yang lebih baik.