Sekarang

mungkin sekarang waktunya.

tw // death, blood, suicide.

Rendra duduk termenung di meja belajarnya, badannya sakit, terasa seperti remuk. Ayahnya memang tidak pernah main-main dengan perkataannya yang lebih memilih Rendra untuk mati daripada harus memiliki anak seorang gay.

Semenjak Harsa pergi, kehidupannya terasa hampa, bahkan menyakitkan. Rendra yang kesepian, akhirnya dipertemukan dengan Harsa namun sangat disayangkan mereka harus dengan terpaksa dipisahkan lagi.

Apakah Rendra jahat kalau ia berpikir semuanya akan lebih baik kalau ia tidak pernah bertemu dengan Harsa?

Harsa, seusai dengan namanya yang berarti kebahagiaan memang benar-benar menjadi sumber kebahagiaan bagi Rendra, ia adalah pusat dari segala emosi yang dirasakan Rendra.

Karena Harsa, Rendra bisa merasakan senang, sedih, tawa, dan segala emosi lainnya.

Rendra sangat mensyukuri kehadiran Harsa di kehidupannya, ia adalah orang paling beruntung karena pernah merasakan bagaimana rasanya dekat dengan orang sebaik Harsa.

Nama Rendra yang berarti memberi, benar-benar menggambarkan bagaimana Rendra memberikan segalanya, segala perasaan yang dimilikinya untuk Harsa.

Rendra dengan tulus memberikan rasa sayang dan cintanya kepada Harsa, yang entah dapat merasakannya atau tidak. Bahkan mungkin enggan untuk mengetahui hal tersebut.

Mungkin keduanya memang ditakdirkan untuk saling mengenal tanpa berakhir bersama. Sakit? Memang. Rendra bahkan sudah tidak mengerti lagi bagaimana cara menjelaskan perasaannya saat ini.

Rendra menatap kertas dan pena yang ada di mejanya, tangannya masih sakit untuk menulis tapi ia akan menuliskan pesan untuk orang-orang yang disayanginya, di atas kertas ini.


Julian datang ke rumah Rendra sesuai dengan jam yang diminta oleh temannya itu, bersama Johan tentunya.

Rumah Rendra kosong, sudah tidak seberantakan kemarin tapi seperti terasa ada yang aneh.

Johan duduk di sofa ruang tamu dan mulai memainkan ponselnya, “gue ke kamar Rendra dulu, sebentar” kata Julian yang hanya dijawab anggukkan oleh Johan.

Dengan acuh Johan masih memainkan ponselnya, ia berpikir di rumah Rendra benar-benar kosong dan tidak ada siapapun sampai tiba-tiba Julian kembali dengan nafas yang terengah-engah setelah berlarian dari kamar Rendra.

Di tangannya ada beberapa lembar amplop, masih berisi tetesan darah segar.

“Johan” panggil Julian dengan nada lirih yang membuat Johan langsung melotot kaget, “Rendra?” tanyanya.

Julian merosot, badannya seperti tidak memiliki energi untuk hanya sekedar berdiri karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Ia melihat Rendra sudah tidak bernyawa di atas meja belajarnya sendiri.


throw back, before Julian arrives

Rendra perlahan menaruh kembali kertas-kertas di hadapannya, memasukkannya ke dalam tiga amplop putih dengan rapih.

Dengan tangannya yang masih gemetar, diambilnya alat yang biasa digunakannya untuk memotong kertas dan didekatkan ke arah lehernya.

Dari pantulan cermin kecil yang ada di meja belajarnya, ia dapat melihat bagaimana benda tajam itu mulai menekan kulitnya hingga perlahan dapat dilihat darah mengalir dari lehernya.

Semakin banyak darah yang keluar dari lehernya, semakin Rendra menyadari kalau ia sudah dekat dengan kebahagiaan yang dimaksudnya.